sampaikanlah walau satu ayat

Minggu, 28 Maret 2010

Pelajaran Ahkam III :

Pengantar Pembahasan IJTIHAD:

Mengenal beberapa macam kewajiban:

Macam-Macam Kewajiban:

Perkara wajib, berdasarkan tanggung jawab pelaksanaannya bagi mukalaf mempunyai beberapa macam, dengan mengenal kebagaimanaannya dapat memberi kesan dalam menjalankannya;

1. Wajib A'ini, adalah kewajiban yang diperintahkan kepada semua mukalaf, dengan menunaikannya secara perorangan tidak meniadakan tanggungjawab hukumnya bagi yang lain, seperti kewajiban menunaikan solat lima waktu sehari-semalam dan kewajiban berpuasa di bulan ramadhan..

2. Wajib Kifai, adalah kewajiban yang diperintahkan kepada semua mukalaf, namun apabila telah ditunaikan oleh seorang atau sekelompok orang - dengan kadar yang cukup dan tepat dalam menunaikannya - maka akan meniadakan tanggungjawab hukumnya bagi yang lain, seperti; kewajiban memandikan, mengafankan, menyolatkan dan menguburkan mayat, amar maaruf, nahi mungkar serta jihad dan ijtihad.

3. Wajib ta’ayini, adalah kewajiban yang bertumpu pada satu amal saja (yang sudah tertentu diperintahkan kepada mukalafin tampa ada amal pengganti yang lain), seperti; kewajiban solat magrib dan i'syak.

4. Wajib takhiri, adalah kewajiban yang bertumpu pada lebih dari satu amal (yang dapat dipilih oleh mukalaf secara bebas dalam menunaikannya), seperti kewajiban menunaikan solat Jum’at atau solat Dzuhur di hari Jumaat, boleh memilih yang mana saja dari keduanya untuk ditunaikan, maka dianggap telah menunaikan kewajiban dihari itu.

Dan Selain macam kewajiban yang tersebut diatas ada beberapa macam kewajiban yang lain yang dibahas dalam ilmu usul-fikhi yang belum dibahas disini.

IJTIHAD

Ijtihad menurut arti leterleks bahasa bermakna “usaha”, namun menurut istilah fiqih memuat arti “istimbat dan istikhraj” yaitu: “Berusaha keras dalam menyungkil/menggali atau mengeluarkan hukum untuk masalah-masalah syar’i dari sumber-sumbernya”. Dan orang yang mempunyai kemampuan berijtihad dengan melakukan pengistimbatan ahkam syar’i dari sumbernya disebut “Mujtahid”.

Sumber-sumber hukum syar’i terdiri dari:

1. Kalamullah/Quranul-karim.

2. Sunnah maashumin (as) yang terdiri dari: Ucapan, perbuatan dan ketetapan mereka (as) .

3. Aqal.

4. Ijmak

Kitab suci Quran sebagai kumpulan wahyu Ilahi yang diturunkan kepada Rasul-Nya yang mulia (saww) sehingga sampai pada tangan kita dengan kehendak Allah swt tetap terjaga tanpa cacat, tambahan atau kekurangan, ia menjadi ukuran amal dan sumber istimbat ahkam Islam yang pertama dan utama.

Sunnah maashumin as, sebagai kumpulan ucapan, perintah, larangan, anjuran, dan pelajaran yang benar yang bersumber dari para manusia suci (as), sebagai satu sumber fiqhi yang muktabat yang telah dimuat dalam kitab-kitab riwayat dan hadits.

Perbuatan dan perkataan para maashumin as juga terjaga dari segala kesalahan dari itu dapat menjadi ukuran amal bagi seluruh manusia. Perkataan para maashumin as dikenal dengan istilah Hadits, sedang perbuatan maashumin as dikenal dengan sirah maashumin as yang sudah ditulis dalam kitab-kitab riwayat dan sejarah.

Taqrir atau ketetapan para mashumin as berkenaan dengan suatu tindakan yang dilakukan oleh individu masyarakat dihadapan maashum as -yang sedang tidak berkondisi taqiah sehingga menjadi tanggungjawab beliau as untuk mencegahnya dengan ucapan atau perbuatan- namun maashum as berdiam diri sebagai isyarat menandatangani kebenarannya, hal ini dapat menjadi ukuran amal dan sumber istimbat ahkam fiqih.

Aqal dan Ijmak, keduanya dapat menjadi sumber istimbat bagi hukum syar’i, apabila untuk suatu perkara tidak ditemukan satu dalil-pun dari Quran dan Sunnah, maka Aqal dapat menjadi sumber penggalian hukum syar’i apabila aqal seseorang dapat mencapai kefahaman sesuai dengan kaidah-kaidah usul-fiqhi sehingga dapat mengeluarkan hukum untuk perkara tsb. Demikian juga Ijmak atau kesepakatan pandangan para ahli fiqih Syi’ah atas suatu perkara yang mempunyai kaitan dengan sunnah maashumin as maka seorang mujtahid dapat mengeluarkan hukum dan menentukan tugas bagi mukalafin berdasarkan Ijmak tsb.

ILMU PENGANTAR IJTIHAD

Ada beberapa Ilmu pengantar ijtihad yang harus dimiliki oleh mujtahid yaitu :

1. Ilmu bahasa Arab seperti : Saraf – yaitu; Ilmu yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara merubah bentuk kata Arab dari satu bentuk kebentuk yang lain untuk mendapatkan makna yang berbeda, Nahu – yaitu; Ilmu mengenai cara meyusun dan membentuk kalimat bahasa Arab, Maani, Bayan, Badi' yang dikenal sebagai ilmu balagah) – yaitu ilmu mengenai cara membentuk keindahan berbahasa Arab baik dalam penulisan, pengucapan maupun dalam mengenali bentuk keindahan-keindahan itu dan Ilmu Loghat – yaitu; ilmu mengenai cara mengenal makna kalimat.

2. Ilmu Mantiq: Ilmu yang mengajarkan bagaimana cara berfikir benar.

3. Ilmu Usul-fiqhi: Ilmu yang mengajarkan cara mengistimbat hukum-hukum syar’i.

4. Ilmu Rijal : Ilmu mengenal para perawi hadits sebagai sanad periwayatan suatu hadist (isnad riwayat).

5. Ilmu Dirayah: Ilmu mengenai matan hadits sehingga dapat memahami makna yang terkandung di dalamnya dengan benar.

6. Ilmu Ulumul-Quran: Ilmu mengenai asbabu nuzul ayat-ayat Quran, Tafsir dll.

7. Selain memiliki Ilmu-Ilmu yang tersebut di atas juga dianggap penting untuk memiliki pengenalan-pengenalan berikut: seperti;

- Mengenal uruf dan bahasa masyarakat di jaman turunnya wahyu dan masa hidupnya para maashumin as sebagai bahasa yang digunakan oleh Quran dan Hadits.

- Mengenal kata-kata dan pandangan orang–orang terdahulu, supaya tidak terjadi tumpang-tindih pandangan mengenai sesuatu yang tersurat dan tersirat/ijmak.

- Mengkaji fatwa-fatwa ahli-sunnat, terlebih lagi dalam masalah ikhtilaf dalam kandungan berita mengenai suatu riwayat yang sama.

- Memiliki usaha dalam kemahiran beristimbat ahkam dengan pelatihan sehingga mencapai tahap malakah beristimbat dengan kuat dan mencapai hasil.

IJTIHAD


Demikian bagi seorang yang menyiapkan dirinya untuk menekuni pekerjaan beristimbat selain diharuskan menuntut ilmu-ilmu yang telah disebutkan di atas ia juga hendaknya memenuhi syarat-syarat yang mesti diemban oleh seorang Mujtahid wajidu-syara’it, maka bagi seorang Mujtahid yang demikian jika terjadi kesalahan dalam mengistimbatkan hukum, tentunya mendapat kemaafan dari Allah swt.

Catatan tambahan:

1. Berijtihad mempunyai hukum wajib kifayah oleh karenanya jika sudah ada seorang atau beberapa orang yang telah melaksanakan kewajiban ini dalam masyarakat (dengan qadar yang cukup) maka gugurlah kewajiban ini bagi yang lain.

2. Haram hukumnya bagi siapa yang bukan ahli dalam peristimbahan ahkam untuk memberi fatwa atau mengeluarkan fatwa.

3. Setiap mujtahid melaksanakan taklif syar’inya sesuai dengan istimbatnya sendiri/artinya tidak boleh bertaklid kepada mujtahid lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar