sampaikanlah walau satu ayat

Kamis, 25 Februari 2010

Sering Salah Sasaran di Afghan, Cuma Minta Maaf

Pemboman tentara koalisi di Afghanistan sering salah sasaran. Militer AS cuma minta maaf

Jenderal AS Stanley McChrystal, yang mengomandani sekitar 121,000 tentara AS dan NATO di Afghanistan, Selasa (23/2), meminta maaf atas jatuhnya warga sipil dalam operasi militer pasukan koalisi.

"Saya berjanji untuk menyelidiki kasus ini dan melakukan sebisa mungkin agar hal ini tidak terjadi lagi,” kata McChrystal, dengan menambahkan ia juga akan berupaya untuk menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat Afghanistan.

Permohonan maaf ini dikeluarkan setelah 27 warga sipil Afghanitan tewas dalam serangan udara NATO yang salah sasaran, Minggu. Serangan salah sasaran yang menewaskan warga sipil ini adalah yang ketiga dalam sepekan terakhir, yang memicu kemarahan warga Afghanistan.

Badan-badan HAM internasional juga telah mengeluarkan kecamanan tas besarnya jumlah warga sipil yang tewas dalam serangan pasukan koalisi.

Pernyataan McChristal ini bersamaan dengan diumumkannya jumlah korban tewas di pihak militer AS yang mencapai angka psikologis: 1.000 orang. Menurut lembaga independen icasualties.org jumlah tentara AS yang tewas bahkan telah melampau angka itu.

Korban terakhir, Senin, yaitu satu orang tentara AS dan dua tentara NATO menjadikan jumah korban tewas di pihak tentara asing sejak perang dimilai 2001 menjadi 1.661 personil. Korban di pihak AS berada di urutan pertama 1.000 orang, diikuti Inggris 263 orang dan Kanada 140 orang.

Amerika Serikat dan NATO mempunyai lebih dari 120।000 tentara di Afghanistan untuk memerangi Taliban dan akan mencapai 150.000 pada Agustus, setelah Presiden Amerika Serikat Barack Obama memutuskan penambahan tentara. [ap/tkz/www.hidayatullah.com]

UU PNPS Untuk Kepentingan Semua Agama


Kuasa hukum MUI, Luthfi Hakim, menilai lucu pernyataan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1965 produk pemerintahan tirani. ”Bagaimana dengan KUHP, ini kan produk kolonial,” tanya Luthfi.

Hidayatullah.com -- Menurut kuasa hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Luthfi Hakim, pernyataan Saksi ahli dari pihak pemohon penghapusan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, Prof. Dr. J.E. Sahetapy, SH, yang mengatakan UU tersebut adalah produk pemerintahan tirani dan seharusnya sudah dibuang ke keranjang sampah, amatlah gegabah.

Luthfi Hakim yang ditemui Hidayatullah.com di sela-sela sidang judicial review UU PNPS di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (24/2) kemarin, mengatakan jika Sahetapy mempersoalkan undang-undang produk zaman tirani atau orde lama untuk seharusnya dibuang, maka bagaimana dengan produk undang-undang yang dihasilkan di zaman kolonial penjajah. "Apakah kita nggak punya KUHP. Mungkin karena sudah sepuh saja beliau bilang begitu," kata Luthfi.

Luthfi menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 1965 atau PNPS memang betul produk orde lama. Namun, sambungnya, ketika Soekarno lengser, maka dilakukanlah verifikasi kepada seluruh produk undang-undang yang telah dipakai. Produk undang-undang itu diserahkan ke pemerintah untuk ditetapkan. Ada yang ditetapkan untuk diteruskan, ada pula yang ditetapkan untuk tidak diteruskan. "Sedangkan PNPS adalah termasuk produk undang-undang yang diteruskan pemerintah untuk digunakan karena dianggap urgen," jelas hakim yang juga Ketua Forum Komunikasi Sosial Kemasyarakatan, ini.

Sementara, saksi ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Rahim Yunus, menandaskan bahwa perlindungan ajaran pokok agama oleh negara memiliki urgensitas yang tinggi demi terwujudnya NKRI yang berdaulat.

Pernyataan Rahim tersebut ditambahkan oleh Prof.Dr. Ali Aziz yang juga salah seorang saksi ahli dari pemerintah. Menurut Ali, kunci kesuksesan dan kerukunan beragama sebenarnya terletak pada proporsionalitas pluralisme sosial di masyarakat. "Saya tegaskan, bukan pluralisme teologis yang saya maksudkan. Tapi pluralisme sosial yang harus kita jaga sebagai kunci kerukunan itu," kata Ali.

Menurut Ali, keragaman etnis, agama, budaya, dan suku adalah merupakan sunnatullah. Sehingga dengan terealisasinya pluralisme sosial di masyarakat secara proporsional, kelak akan melahirkan kerukunan antar elemen umat dan bangsa.

Bertalian dengan itu, Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI DR. Adian Husaini, mengatakan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama tidak semata hanya kepentingan dan kebutuhan ummat Islam. Justru dengan adanya UU PNPS tersebut, kata Adian, semua agama akan terlindungi.

"Itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU no 1/PNPS/1965 ini,'' ungkap Adian yang hadir pada sidang MK, Rabu (24/02), sebagai saksi Ahli dari terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dia menegaskan bahwa fungsi penting dari keberadaan UU no 1/PNPS/1965 adalah untuk mencegah terjadinya kekacauan akibat penyalahgunaan atau penodaan agama. [ain/www.hidayatullah.com]

Kartu Identitas Muslim yang Membanggakan

Setelah putranya memperkenal Islam, sang ibu mengganti Bibel yang biasa dibacanya dengan Al-Quran. Ia pun bangga bisa menjadi Muslim

Hidayatullah.com--Nama saya Fathima Lienberg, seorang wanita kulit putih yang memeluk Islam pada tahun 1995. Saya sangat bangga bisa mengatakan: Saya seorang Muslim! Saya masuk Islam bukan karena putra saya. Bagi saya itu adalah perjuangan yang panjang dan berat, karena harus mengorbankan pekerjaan, teman, dan keluarga.

Sebelum memeluk Islam, saya adalah seorang Kristen yang sangat taat, pengikut Gereja Pantekosta. Saya biasa memungut anak-anak jalanan lalu membawa mereka ke gereja dan sekolah minggu. Kehidupan saya hanya berkutat seputar membaca dan mempelajari Bibel. Hingga satu hari, anak laki-laki saya bercerita tentang Islam.

Suatu hari, ia datang dan berkata, "Ibu, mengapa ibu tidak menjadi seorang Muslim saja?"

Saya sangat terkejut sekali mendengarnya dan langsung mengatakan, "Tidak akan pernah."

Lalu putra saya berkata, "Ibu, Islam itu agama yang murni dan bersih. Mereka shalat lima kali sehari."

Saya kemudian memutuskan akan membaca buku-buku dan terjemahan Al-Quran. Semakin saya baca Al-Quran, semakin saya yakin Islam adalah agama yang tepat untuk saya. Saya pun berpaling ke Allah, dan akhirnya menemukan kedamaian dan ketenangan.

Saya menyembunyikan tentang keislaman ini dari keluarga, hingga satu hari saya putuskan untuk menelepon saudara laki-laki saya.

Ia sangat terkejut, karena kami adalah keluarga Kristen yang sangat taat dan alim. Saya adalah satu-satunya yang pindah memeluk Islam. Keluarga menelepon dan mengatakan agar saya tidak perlu menghubungi mereka lagi, karena saya bukan lagi bagian dari keluarga. Saya sangat mencintai mereka dan merindukannya, tapi saya tahu satu saat pasti akan bertemu kembali. Insya Allah.

Saya sangat gembira ketika mendapatkan 'kartu identitas Muslim', rasanya seperti berdiri di atas atap tertinggi dan berteriak, "Saya seorang Muslim." Saya kehilangan keluarga, tapi saya memperoleh keluarga baru dalam Islam.

Keluarga saya, umat Islam, sangat mengagumkan. Saya sulit untuk mengungkapkannya. Saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada keluarga Fakhruddin. Saya mencintai kalian, yang telah memperlakukan saya layaknya keluarga sendiri. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.

Semoga Allah membalas kebaikan Appa Tasneem. Ketika saya berada di Madrasahmu bersama anak-anak kecil, rasanya seperti dikelilingi malaikat kecil di surga. Saya sangat gembira, karena Allah Ta'ala memilih saya untuk menjadi seorang Muslim.

Saya langsung memakai hijab begitu memeluk Islam, dan tidak akan pernah menanggalkannya. Harapan saya hanyalah bisa pergi ke Mekah, meskipun saya ragu apakah mungkin bisa. Tapi insya Allah, satu hari Allah akan memampukan saya pergi ke sana. Setiap kali saya ingin dekat dengan Allah, maka saya melakukan sunnah-sunnah yang diajarkan Nabi kita tercinta Shalallahu Alaihi Wasallam.

Kertas-kertas tidak akan cukup untuk menceritakan apa yang ingin saya ungkapkan tentang Islam. Saya berterima kasih pada keluarga Kazi, dan para ulama di Jamiatul Ulama serta saudara kita Ahmad Deedat.

Islam adalah pedoman hidup. Islam artinya kedamaian dan Muslim adalah orang yang mencari kedamaian dengan cara beribadah pada Allah Ta'ala.

Bukanlah hal yang mudah bagi saya, seorang wanita Muslim kulit putih yang hidup di antara umat Kristen. Tapi, saya tegakkan kepala ini dan sangat bangga menjadi seorang Muslim. Jadi saudara-saudaraku semua yang dilahirkan sebagai Muslim, namun belum menjadi Muslim yang taat, maka masih ada kesempatan. Mulailah sejak esok atau mungkin malam ini, tegakkanlah kepala-kepala kalian dan tunjukkan pada dunia, bahwa kalian bangga menjadi orang Muslim. [di/is/www.hidayatullah.com]

Pers dan Akhlak Jurnalistik


Akhlakul karimah bisa diterapkan dalam banyak persoalan peliputan maupun pelaporan berita hingga penulisan opini

Oleh: M. Nurkholis Ridwan*

KITA hidup pada era di saat media massa memegang peran penting dalam proses pembentukan kebijakan dan pandangan publik. Sejak lama, pers memang telah ditahbiskan sebagai kekuatan demokrasi keempat. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang berhak mengontrol pers untuk tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Siapakah yang dapat menghalangi penggunaan media untuk, misalnya, menghujat atau mengadili pihak tertentu yang tidak disenangi? Hal ini penting untuk dibincangkan, agar publik dapat melakukan pengawasan, sekaligus mengarahkan media, yang sejatinya merupakan lembaga publik, agar sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan kemaslahatan bersama.

Selama ini, mekanisme yang tersedia dalam media massa adalah penggunaan hak jawab. Pihak yang dirugikan dipersilakan menuliskan keberatannya melalui rubrik surat pembaca atau sejenisnya.

Tentu kita dapat memahami bahwa tidak mungkin hak jawab yang halamannya serba terbatas itu dapat menandingi kedahsyatan laporan yang ditulis berlembar-lembar pada edisi sebelumnya, disertai grafis yang memikat, diimbuhi judul menggetarkan yang terdapat di cover. Meski demikian, kondisi ini juga tidak dimaksudkan untuk membatasi para pekerja media untuk melakukan tugas mulianya dalam mendidik publik.

Tapi, para pekerja pers juga tidak boleh semena-mena menurunkan laporan yang diperkirakan merugikan orang lain, dengan alasan: toh itu dapat diselesaikan melalui mekanisme hak jawab.

Jalan yang paling efektif adalah dengan melakukan pengawasan melekat dalam tubuh media itu sendiri. Yang dimaksud di sini adalah, penanggung jawab media, dalam hal ini pemimpin redaksi maupun dewan redaksi sebaiknya menetapkan mekanisme dan alur yang sangat ketat dalam sistem pelaporan berita. Bisa dimulai dari standar berita yang akan dilaporkan.

Pertanyaan-pertanyaan berikut ini harus terjawab: Apakah berita itu menarik, bermanfaat, tidak merugikan kepentingan umum, tidak melanggar hak asasi manusia, tidak mengadili pihak-pihak yang belum dapat disebut bersalah, cukupkah bahan dan kemampuan SDM untuk menulis topik itu, tidak mengundang kontroversi dan kegaduhan yang kontraproduktif bagi mayoritas masyarakat, dan seterusnya.

Gugusan pertanyaan yang sama dapat diterapkan pada angle (sudut pandang) tulisan atau berita. Jika angle sudah tidak obyektif, jangan harapkan laporan yang dihasilkan dapat obyektif dan bermutu.

Walau demikian, kita harus arif pada kenyataan, bahwa para pengelola keredaksian media punya keterbatasan-keterbatasan tertentu ketika harus berhadapan dengan manajemen atau pemilik modal. Di sinilah nurani para jurnalis diuji. Sebab, hakikatnya, di kursi jabatan manapun ia duduk, hakikatnya dia tetap jurnalis yang terikat dengan kode etik. Wabil khusus, harus berpegang pada hati nurani. Jika para penanggung jawab keredaksian menyerah pada tuntutan kepentingan internal, mengabaikan kebenaran dan hati nurani, pada akhirnya publik yang akan menghukum media yang bersangkutan dengan tidak membaca, membeli, mendengar atau menontonnya. Tapi , lagi-lagi hal itu tidak bisa menyelesaikan persoalan, ketika media misalnya, terus melakukan pelanggaran etika jurnalistik dengan mengabaikan aspirasi publik.

Karena itu, sebaiknya, media melakukan komunikasi yang lebih intensif dengan pembacanya. Membuka keran kritik konstruktif dari pembaca, mulai dari yang lembut hingga yang pedas, memperluas seluas-luasnya ruang bagi pembaca untuk berpartisipasi. Jangan sampai dengan alasan bertentangan dengan kebijakan internal atau merusak citra media, surat pembaca yang masuk tidak diterbitkan. Dengan begitu, media dapat dengan cermat mengikuti nurani dan keinginan pembacanya yang pada hakikatnya adalah keinginan pasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan yang diperoleh media: Pertama, sejalan dengan hati nurani publik. Kedua, selaras dengan keinginan pasar. Kue iklan pun bisa lebih mudah didapat.

Akhlak reportase

Dalam proses membangun kesadaran intrinsik media inilah kita perlu memahami etika jurnalistik atau dalam istilah lain, akhlak jurnalistik. Akhlak dalam konteks ini, secara luas dapat diartikan sebagai sekumpulan nilai-nilai positif yang diterima oleh publik secara luas, atau katakanlah mayoritas masyarakat.

Dengan kata lain, sekumpulan prinsip-prinsip moral adiluhung yang dijunjung tinggi oleh masyarakat umum. Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, akhlak Islam atau populer dengan istilah akhlakul karimah (Arab: akhlak yang mulia), semestinya menjadi landasan bagi insan pers. Sebab, pers tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, tempat ia bertugas melayani, sekaligus menjadi penyambung lidah masyarakat.

Akhlakul karimah ini bisa diterapkan dalam banyak persoalan peliputan maupun pelaporan berita hingga penulisan opini. Sebagai contoh, penulisan tema-tema aliran sesat dapat dilakukan dengan bahasa ajakan untuk kembali ke jalan yang benar, tanpa mengaburkan prinsip-prinsip kebenaran. Jika itu terkait pada kasus penodaan agama, maka penyelesaian secara hukum dapat disarankan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku di negeri ini, sembari menentang upaya-upaya penyelesaian yang mengundang kekerasan. Dengan begitu, media dapat menampilkan dirinya sebagai sebuah institusi publik yang selalu positif dan solutif.

Untuk tema-tema kriminal dan kejahatan misalnya, dapat diterapkan asas praduga tak bersalah, dengan menghindari unsur kecaman, penyematan kata sifat yang menyudutkan, pengarahan opini yang tak berdasarkan pada fakta, dan seterusnya. Sebenarnya, hal ini dapat dihindari dengan mudah, jika kita selalu berpegang pada fakta. Tugas media, pada hakikatnya adalah mencari kebenaran dan melaporkannya, yang dengan demikian berarti media telah membantu melayani masyarakat.

Karenanya, tugas jurnalislah untuk bertanya dan tak pernah bosan bertanya, menggali fakta dari hulu hingga hilir peristiwa. Dan jika terdapat kontradiksi maupun unsur konflik dalam laporan itu, jurnalis tidak berhak menyimpulkan. Biarkan pembaca, pendengar atau penonton yang menarik kesimpulan. Dan jika tidak ada fakta pendukung, jurnalis harus mengabaikan apapun praduga yang berkecamuk kuat dalam benaknya.

Pada akhirnya, sebuah laporan jurnalistik memang tidak bisa menghindari untuk mengarahkan pembaca pada sebuah kesimpulan. Tapi proses itu harus berada di rel fakta-fakta pendukung, primer maupun sekunder, di mana seorang jurnalis harus dengan penuh amanah tidak mengabaikan setiap fakta yang mungkin bertentangan dengan praduga maupun kesimpulan yang ia harapkan.

Tulisan ini semacam kerinduan pada pers yang sehat. Pers yang mewakili publik secara umum. Dalam konteks keumatan, kita butuh pers yang mendidik, mencerdaskan sekaligus membela kepentingan masyarakat muslim secara hanif, adil, obyektif, dan berimbang. Wallahu a’lam.

*)Penulis adalah wartawan dan editor penerbit Pustaka Al-Kautsar

Selasa, 23 Februari 2010

Menjaga Semangat Dakwah

Da’wah atau menyeru kepada Allah swt merupakan sebuah kewajiban berdasarkan firman Allah swt :

ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. An Nahl : 125)

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ

Artinya : “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata,” (QS. Yusuf : 108)

Dan dalam QS. Al Imran : 104 yang artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al Imran : 104)

Seorang da’i didalam melaksanakan kewajiban ini dituntut memiliki pengetahuan tentang keagamaan yang baik agar da’wahnya tidak jatuh kedalam kesalahan. Sebagaimana diketahui bahwa amal mengikuti ilmu dan ketika suatu amal tidak dibangun diatas landasan ilmu maka kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih besar dari manfaat yang dihasilkannya.

Untuk itu seorang da’i diharuskan memahami pokok-pokok aqidah dan keislamannya lalu tsaqofah fikriyah sebagai bekal didalam da’wahnya.

Syeikh Mustafa Masyhur menyebutkan bahwa ada tiga tsaqofah fikriyah yang harus dimiliki seorang da’i :

1. Memahami islam secara betul dan menyeluruh yang memungkinkan dia dapat melaksanakan islam dengan pelaksanakan yang benar terhadap dirinya, dan dengan itu pula dia dapat menyampaikan islam dengan baik kepada orang lain. Dia mampu melaksanakan islam dan menyampaikan secara total, murni dan orisinil.

2. Para da’i mesti mengetahui kondisi dan situasi dunia islam dahulu dan sekarang, mengenal musuh-musuh islam dan mengetahui cara dan tindak-tanduknya. Dia juga harus mengetahui peristiwa-peristiwa aktual yang mempengaruhi kondisi kaum muslimin dari dekat atau jauh. Mengetahui siapakah golongan yang bekerja di bidang da’wah islam, kecenderungan dan cara-cara mereka, bagamana bentuk kerja sama yang perlu dibuat bersama-sama dengan mereka, dan persoalan-persoalan lain yang patut diketahui oleh orang-orang yang aktif dalam gerakan islam.

3. Para da’i harus menyampaikan untuk memantapkan spesialisasi ilmu yang berkaitan dengan urusan hidup manusia seperti : ilmu kedokteran, teknik, pertanian, ekonomi, perusahaan dan lain-lainnya. Oleh akrena itu bagi seorang kader aqdah ia harus berusaha memperbaiki dan meningkatkan spesialisasi ilmu yang dimilikinya secara professional agar dia mendapat tempat dalam masyarakat dan dapat mengisi tempat-tempat kosong pada saat kita membangun dan menegakkan daulah islamiyah. Patut di sini disebutkan bahwa sebagian besar ilmu pengetahuan modern sekarang ini telah dipelopori oleh para cendekiawan muslim zaman dahulu. Karena agama islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dan belajar serta dapat menghubungkan ilmunya dengan al Kholik.

Tentunya mustahil bagi seseorang mencapai tingkat kesempurnaan didalam keilmuannya dikarenakan luasnya ilmu Allah swt. Dengan begitu hendaklah setiap dai menyampaikan apa-apa yang telah diketahuinya secara baik kepada orang-orang yang belum mengetahuinya, dan inilah hakekat dari da’wah. Dan dilarang bagi setiap da’i untuk menyampaikan sesuatu yang belum diketahui ilmunya secara baik khawatir terjatuh didalam kasalahan berdasarkan keumuman hadits Rasulullah saw,”Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhori) Satu ayat yang betul-betul diketahinya secara baik adalah amanah yang ada di pundaknya untuk disampaikan kepada orang-orang yang belum mengetahui satu ayat tersebut.

Turun naik atau berkurangnya semangat didalam sebuah amal islami adalah sesautu yang biasa sebagaimana keimanan yang memiliki masa-masa naik dan masa-masa turun. Akan tetapi yang tidak diperbolehkan adalah ketika hilang sama-sekali semangat untuk beramal islami, sabda Rasulullah saw,”Setiap amal mempunyai masa semangat (syirroh) dan setiap masa semangat terdapat pula masa turun semangat (fatroh). Barangsiapa yang masa lemah semangatnya masih berada pada sunnahku maka ia telah mendapat petunjuk. Dan barangsiapa yang masa lemah semangatnya berada pada selainnya maka ia celaka” (HR. Ahmad)

Diantara hal-hal yang bisa digunakan didalam menjaga semangat berdakwah adalah :

1. Mengetahui secara baik akan keutamaan da’wah diantara aktivitas-aktivitas lainnya di sisi Allah swt, sebagaimana firman Allah swt :

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Artinya : “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS. Fushilat : 33)

Sabda Rasulullah saw,”Seandainya Allah memberikan hidayah kepada seseorang melalui dirimu maka hal itu lebih baik bagimu daripada onta merah.” (HR. Bukhori dan Muslim)

2. Menyadari bahwa Allah hanya memerintahkan kepada kita untuk menyampaikan kepada manusia dan tidak membebankan kita agar mereka semua menerima da’wah kita karena urusan hati manusia beada didalam genggaman Allah swt, sebagaimana sabda,”Sesungguhnya hati manusia berada diantara dua jemari dari jari jemari Yang Maha Pengasih dan Dia lah yang membolak-balikkannya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)


Artinya : “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al Qoshosh : 56)

Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap amal da’awiy seseorang meskipun hanya sedikit dari manusia yang menerima dan menyambut da’wahnya.

3. Hendaklah didalam menegakkan kewajiban berda’wah ini tidak sendirian akan tetapi berada didalam suatu barisan atau jama’ah, bersama orang-orang yang berjuang menegakkan agama Allah di muka bumi ini sepanjang pagi dan petang, yang kehidupan mereka betul-betul diberikan untuk kejayaan islam dan kaum muslimin, orientasi perjuangannnya adalah kebahagian akherat bukan kenikmatan dunia yang sering kali menipu manusia. Sabda Rasulullah saw,”Tangan Allah bersama jama’ah.” (HR. at Tirmidzi)

Dengan merekalah kita bisa berbagi perasaan suka dan duka didalam lapangan da’wah yang menjadi bunga-bunganya yang kelak akan kita cium harumnya di surga Allah swt.

Wallahu A’lam