Nampaknya trend gay, lesbi, bisex dan hubungan seks sejenis di seantero dunia semakin membudaya. Di masyarakat Indonesia yang dikenal religius, trend ini ironisnya justru disambut dan dirayakan sebagai gejala kosmopolit yang normal. Malah, tidak jarang gay, lesbi dan bisex mendapat “kemudahan” meniti karir sebagai presenter, pelawak, desainer, manajer di perusahaan hiburan, dan tak jarang menjadi juru dakwah agama tertentu. Lalu, bagaimana sebenarnya solusi agama bagi perilaku menyimpang yang hatta hewan buas sekalipun jijik melakukan perbuatan ini?
Untuk waria, di Republik Islam Iran, fenomena semacam ini ternyata juga ada. Tapi, hukum Islam meminta ketegasan pilihan bagi waria: menjadi pria atau wanita. Tidak ada pilihan tengah! Islam tidak mentolerir kegamangan identitas gender, lantaran hal itu akan merusak tatanan alam, sistem sosial, sistem hukum dan lain sebagainya. Hubungan seks sejenis dilarang keras.
Tapi, itu baru sebagian solusi yang diberikan hukum Islam di negeri kaum Mullah ini. Bagian lain solusi adalah memperbolehkan operasi perubahan kelamin yang didasarkan pada diagnosa para pakar dari berbagai disiplin ilmu.
Untuk menjawab kegelisahan dan disorientasi seksual para waria dan orang-orang serupanya, Republik Islam Iran sejak awal telah melegalkan operasi ganti kelamin yang didahului dengan serangkain diagnosa. Legalisasi ini didasarkan pada fatwa Khomeini.
“Islam memiliki solusi dan obat untuk orang dengan masalah disoriensi seksual. Kalau dia ingin ganti kelamin dan gender, ada jalan untuknya,” kata Muhammad Mehdi Kariminia, seorang ulama yang tergabung dalam tim pendiagnosa gender. “Operasi ganti kelamin sama sekali berbeda dengan hubungan seks sejenis. Keduanya mutlak berbeda. Para homoseksual melakukan tindakan menentang kodrat dan hukum agama,” kata Kariminia. “Dalam hukum Islam ditegaskan bahwa hubungan seks sejenis itu sama sekali tidak dibolehkan, lantaran ia merusak tatanan hidup bermasyarakat dan alasan-alasan lain yang lebih mendasar.”
Dr Mir-Jalali, ahli bedah lulusan Paris, adalah spesialis operasi ganti kelamin di Iran. Dia mengaku telah mengoperasi lebih dari 450 orang dalam 13 tahun terakhir. Tapi, Dr Mir-Jalali juga mengaku bahwa dia dan para pakar lain dalam tim pendiagnosa telah menyelamatkan jauh lebih banyak lagi remaja yang menurutnya tidak layak ganti kelamin. Mereka adalah orang-orang yang sedang mengalami krisis identitas, bukan mengalami masalah medis, genetik, fisologis atau psikologis. Para remaja itu kini menganggap tim pendiagnosa gender sebagai juru selamat mereka.
Banyak orangtua yang mendatangi tim pendiagnosa gender untuk menggagalkan rencana anak mereka berganti kelamin. Sebagian besar orangtua itu berusaha mengajukan bukti untuk meyakinkan tim pakar itu bahwa anak mereka sebenarnya tidak “layak” berganti kelamin. Dan karena itu, tim ini terkadang harus bekerja berbulan-bulan untuk memutuskan satu kasus. Mereka biasanya melakukan investigasi dan reevaluasi super ketat, ditambah konsultasi keluarga dan riset latarbelakang yang berbelit-belit.
Pemerintah Iran juga menyediakan setengah biaya operasi bagi kalangan miskin yang memang terbukti sesuai diagnosa interdisipliner sebagai orang yang layak berganti kelamin. Akta kelahirannya pun akan segera diubah sesuai dengan jenis kelamin barunya.
Lain di Republik Islam Iran, lain pula di Indonesia, adalah perempuan bertitel Prof Dr. Musdah Mulia yang pernah mengeluarkan fatwa pengharaman poligami dan penghalalan selingkuh. (The Jakarta Post 28/03/08)
Kalau mau liberal-liberalan, semustinya Musdah dengan pemikirannya yang liberal berfatwa membebaskan wanita untuk tidak ada dibawah hukum yang “dimonopoli” lelaki secara menyeluruh. Ini yang tampaknya lebih liberal dan keren, tentu dengan logika liberal dan bukan logika Islam. Tapi sayangnya Musdah hanya mengatakan bahwa perkawinan hanya dibatasi satu, selanjutnya silahkan selingkuh. Dengan pembatasan ini, Musdah ingin “melegalkan” homoseks sebagai ganti poligami dan lesbian sebagai ganti atas penindasan hak wanita. Artinya seorang lelaki hanya boleh kawin satu dan selanjutnya melegalkan homo dan lesbian, atau menerima lelaki sebagai suami tapi juga homo atau lesbi bagi wanita sekaligus. Dan inilah sebenarnya yang ingin diperjuangkan oleh perempuan yang karena jasa-jasanya itu, dianugerahi penghargaan,”International Women of Courage”pada Hari Perempuan Dunia di Washington 2007.
Semua alasan yang dikemukakan Musdah, klasik dan kuno yakni HAM dan KEBEBASAN. Ah… saya kok malah mempertanyakan kontras atas nama HAM dan KEBEBASAN jika mereka melaporkan aparat kepolisian dan FUI Jatim ke pengadilan. Bukankah menolak “Gathering Lesbi dan Gay” adalah bentuk dari HAM dan KEBEBASAN juga?.
Karena itu, dengan alasan klasik pula, sangat dimaklumi dan perlu diapresiasi sekaligus mesti didukung aksi sejumlah ormas Islam dan masyarakat yang menolak Gathering Lesbi dan Gay di Surabaya. Bravo umat manusia.[islammuhammadi/mt/on]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar