sampaikanlah walau satu ayat

Sabtu, 10 April 2010

REFLEKSI JIHAD ACEH 2010
Oleh M. Fachry (arrahmah.com)

Kemunculan kelompok jihad yang menamakan diri dengan Tandzim Al Qaeda Serambi Mekah pada awal Maret 2010 tentu mencengangkan banyak pihak. Apalagi setelah itu terjadi perburuan, penembakan, dan penangkapan secara beruntun kepada Tandzim Al Qaeda ini yang sempat melakukan perlawanan. Semua pihak beramai-ramai membuat analisa menurut perspektif masing-masing. Ada yang setuju, tidak sedikit yang mencerca. Ini tulisan dari Refleksi Jihad Aceh 2010 yang dimuat di blog 'elhakimi' dan mendapatkan tanggapan dan respon yang sangat luar biasa. Semoga tulisan ini dapat mencerahkan ummat Islam akan kewajibannya menegakkan Islam dengan dakwah dan jihad sesuai dengan tuntunan Al Qur'an, As Sunnah, dan teladan salafus sholeh. Insya Allah! Semoga bermanfaat!

Jihad Aceh yang terjadi pada awal Maret 2010 begitu mengagetkan. Ketika sebelumnya masyarakat disibukkan dengan gonjang-ganjing Century, begitu muncul berita jihad Aceh, langsung Century dilupakan. Mengagetkan karena sebelumnya Aceh dikenal sebagai basis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sangat bercitra lokal, berubah menjadi basis Al-Qaeda yang bercitra global.
Lebih mengagetkan lagi, mereka - yang selalu mendapat sebutan teroris itu - melakukan perlawanan dalam bentuk adu senjata secara terbuka di alam bebas. Hasilnya sungguh mengegetkan, beberapa anggota densus 88 yang dicitrakan sebagai pasukan preman seperti Blackwater - lengan bajunya dilinting untuk menonjolkan kesan macho - bisa dibunuh oleh mereka.

Sontak, berita Al-Qaeda Aceh menjadi boming. Belum reda panasnya kontak senjata di Aceh, segera disusul dengan tertembaknya (Ab)Dulmatin alias Amar Usman yang kepalanya dihargai 10 juta dolar oleh Amerika. Media masa hingar bingar memblow-up peristiwa ini.

SBY yang dirundung duka dengan tekanan bertubi-tubi terkait kasus Century, sontak wajahnya sumringah dan berseri-seri. Ia mendapat amunisi bagus untuk menutupi kasus Century. Di sisi lain, ia yang tengah berkunjung ke Australia dan mendapat "kehormatan" untuk menjadi pembicara di parlemen Australia - konon baru 5 kepala negara yang diberi kesempatan untuk itu - memiliki kesempatan istimewa untuk menjilat Australia. Ia dengan mengucap "alhamdulillah" melaporkan kepada tuannya keberhasilan menangkap gembong teroris (baca: tokoh mujahid) yang selama ini diincar seluruh dunia kafir.

Banyak analisa yang beredar di tengah masyarakat. Tapi sayang, umumnya terbelah dalam dua kubu yang sama-sama tidak benar dalam menyikapi masalah ini. Memandang masalah dengan kacamata yang salah.

Kubu Pertama: Penganut Teori Konspirasi

Penganut mazhab ini melihat jihad Aceh sebagai konspirasi SBY dan kepolisian RI untuk mengalihkan perhatian semata dari kasus Century yang puncaknya pada awal Maret 2010 lalu. Atau, konspirasi pematangan situasi untuk memberangus kaum radikal agar tercipta keamanan maksimal saat kunjungan Obama ke Indonesia yang dijadwalkan akhir Maret. (Alhamdulillah, tertunda hingga Juni, katanya).

Teori konspirasi esensinya adalah mekanisme "menyalahkan" musuh dengan menutup mata bahwa gerakan perlawanan di tengah umat Islam sejatinya realitas yang tak bisa ditolak. Teori konspirasi selalu berkonotasi bahwa musuh Islam amat hebat, bisa merancang apa saja dan merealisasikannya laksana alur cerita film, sementara umat Islam hanya sekawanan "kambing congek" yang bodoh dan tertindas. Teori konspirasi dilandasi pandangan bahwa sutradara segala kejadian di alam semesta adalah Yahudi, Israel, AS, Eropa, CIA, BIN, Kepolisian, dan seterusnya. Teori ini menihilkan taqdir Allah, kemampuan mujahidin dan umat Islam. Apapun kejadian yang merugikan umat Islam, selalu jawabannya sama: ada konspirasi Yahudi di baliknya. Seolah Yahudi "Penguasa Alam Semesta" yang seluruh rencananya dapat terjadi laksana skenario film di tangan sutradara.

Misalnya, ketika membedah serangan WTC yang meruntuhkan simbol ekonomi AS, para penganut teori konspirasi terbelenggu keyakinan bahwa itu semua bikinan AS. Usamah bin Ladin hanya pion yang dimanfaatkan oleh AS untuk mengacak-acak umat Islam. Buktinya? Dahulu saat Afghanistan melawan Uni Sovyet, mujahidin mendapat sokongan dari AS. Di dalamnya termasuk Usamah bin Ladin.

Mata rantai logika yang disusun, lalu kesimpulan yang dihasilkan sangat menggelikan. Mereka tidak sadar, teori ini bisa menyeret kesimpulan lain; bahwa nabi Musa as sebenarnya antek Fir'aun. Dalilnya? Karena pernah diasuh Fir'aun di istananya.

Para penganut mazhab konspirasi tidak percaya bahwa mujahidin bisa melakukan serangan spektakuler 11 September itu. Mereka terpenjara oleh pengalaman umat Islam yang terjajah sekian lama, tak mungkin ada di tengah umat Islam yang mampu melakukan perlawanan kepada kaum kafir.

Para penganut mazhab konspirasi berdalih, teknologi AS demikian canggih sehingga mustahil ada pesawat sipil yang lolos dari intaian radar AS, di negerinya sendiri. Mereka melupakan Ke-Maha Kuasa-an Allah, yang bisa menjadikan api yang pasti membakar, tidak memberi efek membakar bagi Ibrahim as. Mereka lupa, bahwa taqdir hancurnya WTC justru dengan membuat kaum Yahudi mengendus rencana penyerangan, dan mereka sengaja membiarkannya demi mengobarkan perang melawan umat Islam yang memang mereka inginkan. Inilah jalan taqdir yang Allah kehendaki untuk hancurnya WTC.

Para penganut mazhab konspirasi salah menyimpulkan. Mereka menyangka, sikap Yahudi yang membiarkan penyerangan berjalan mulus merupakan bukti konspirasi antara AS dengan Usamah bin Ladin. Subhanallah... Gara-gara teori menyesatkan ini, mereka menuduh mujahid yang prestasi jihadnya diakui dunia sebagai antek AS. Menuduh tokoh jihad sebagai pengkhianat hanya disebabkan teori konspirasi.

Penganut mazhab ini sangat banyak jumlahnya. PKS, HTI dan hampir seluruh elemen umat Islam yang beraliran perlawanan tapi modernis menggunakan mazhab ini. Lihat misalnya situs Eramuslim dan Hizabuttahrir. Analisanya selalu dilandasi teori konspirasi. Menyedihkan !

Kedua: Penganut Neo-Murji'ah

Penganut mazhab ini yakin seratus persen terhadap informasi yang datang dari pihak pemerintah, dalam hal ini kepolisian. Bahwa pelaku adalah kalangan umat Islam yang dengan sengaja melawan pemerintah yang "sah". Penganut Neo-Murji'ah mengambil sikap memusuhi para pelaku, dan percaya bahwa kejadiannya memang benar, bukan rekayasa atau hasil konspirasi tertentu, misalnya dari pihak pemerintah.

Penganut mazhab ini umumnya dari kalangan Salafi Murji'ah. Mereka menolak teori konspirasi, tapi di sisi lain, menghujat mujahidin dengan kalimat yang tajam. Biasanya menyebutnya sebagai Khawarij. Silakan lihat fenomena ini misalnya si situs-situs SM (Salafi Murji'ah) dan Radio Rodja Cileungsi. Salah satu tokoh penting mazhab ini Zainal Abidin (pendiri radio Rodja).
Kesalahan mazhab ini terletak pada kebenciannya yang membabi buta terhadap mujahidin. Mereka sama sekali tak mau mengakui status para "teroris" sebagai mujahidin. Bagi mereka para mujahidin lebih dibenci dibanding kebencian mereka terhadap George Bush, Ariel Sharon, Geert Wilders, dan tokoh-tokoh perusak Islam lain.

Penulis heran, jangan-jangan mereka belum pernah mempelajari konsep Wala' wal Bara' dengan benar. Atau kalaupun mempelajarinya, pasti dengan persepsi yang salah. Mereka sangat mencintai Sunnah, tapi sayang tidak mampu memilah mana musuh dan mana kawan. Mereka mengidentikkan istilah Teroris dengan Khawarij. Hasilnya, menurut mereka, Teroris akan menjadi anjing-anjing neraka Jahannam!

Mazhab Wasath (Aliran Pertengahan)

Bertolak belakang dengan hujatan kaum SM, penganut mazhab wasath dengan penuh rasa cinta menyebut mereka yang diberi gelar Teroris sebagai Mujahidin. Tentu saja Teroris yang muslim, dan ada kaitannya dengan membela Islam dan umat Islam. Bukan Teroris seperti Tentara Basque di Spanyol yang beragama Kristen.

Demikian pula, tak mau memandang jihad Aceh dengan teori konspirasi. Semuanya benar adanya, dilakukan oleh kalangan umat Islam yang sangat merindukan jihad dan mati syahid. Mereka termotivasi pahala yang demikian menggiurkan untuk aktifitas jihad dan karunia mati syahid. Adapun kejadiannya yang menyusul ramainya skandal Century, sama sekali tak bisa dipahami bahwa jihad Aceh hasil rekayasa kepolisian. Ini semata taqdir Allah, yang boleh jadi sebagai bentuk istidraj untuk SBY agar ia merasa disayangi Allah karena menyelamatkannya dari skandal Century. Padahal gaya menjilatnya kepada Australia dengan memberi laporan kepada "tuannya" tersebut, menunjukkan bahwa SBY bukan sosok yang pantas mendapat pertolongan dari Allah dalam konteks kasih sayang. Tetapi "pertolongan" dalam konteks istidraj.

Pada sisi lain, mazhab wasath juga tidak membela jihad Aceh dengan membabi-buta sebagai kebenaran mutlak tanpa cela. Mazhab ini tetap memberikan analisa kritis atas amaliah jihad Aceh dengan catatan-catatan evaluasi, agar menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Sama sekali bukan karena faktor benci atau dengki. Tapi semangat saling menasehati dengan cinta. Rabbana la taj'al fi qulubina ghillan lilladzina amanu !

Refleksi ini ditulis dengan paradigma mazhab wasath. Maka, akan terasa menyakitkan bagi yang mendukung jihad Aceh dengan membabi-buta seolah tanpa cacat. Mohon maaf.

Menghidupkan Jihad Aceh

Jihad Aceh mencoba memelihara bumi Aceh yang penuh berkah agar tetap beraroma jihad, melanjutkan apa yang dilakukan sekian lama oleh Allah Yarham Daud Beureuh (Baca: Ber'eh) dengan gerakan DI/TII-nya. Pada zaman yang lebih tua, perang Sabil yang dilakukan rakyat Aceh melawan kafir Belanda.

Bumi jihad Aceh sempat dikangkangi oleh perlawanan dengan aroma kesukuan; sentimen Aceh melawan Jawa dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan matinya ruh perlawanan GAM - karena memang ruh kesukuan sejatinya lemah - maka terbuka peluang untuk membersihkan aqidah rakyat Aceh dari sentimen kesukuan tersebut. Dikembalikan kepada aqidah Islamiyah, yang karenanya jihadnya harus dengan paradigma fi sabilillah, bukan fi sabili GAM.

Namun sayang, tampaknya misi ini belum berhasil direalisasikan oleh pelaku, karena rakyat sudah sangat pro pemerintah setelah trauma dengan dampak sepak terjang GAM pada masa lalu. Mereka sudah terlanjur trauma terhadap apapun yang berbau senjata. Mereka sudah lelah dengan kekerasan.

Trauma ini hanya bisa diobati dengan dakwah, yang meluruskan rakyat Aceh dari aqidah Nasionalisme atau Kesukuan dan kembali kepada aqidah Islamiyah. Didakwahi untuk cinta jihad, mati syahid dan benci kepada sistem non Islam.

Pilihan Aceh untuk dijadikan front jihad, dan wilayah manapun di Indonesia, sesungguhnya perlu dikaji lebih dalam. Jihad membutuhkan "pemicu" sehingga bisa menarik umat Islam dalam jumlah masal untuk bergabung. Jika pemantiknya tidak cukup kuat, masyarakat tak tergerak untuk mendukung jihad. Faktanya, pelaku sama sekali tak memikirkan faktor pemantik ini. Mereka hanya menjadikan fardhu-nya jihad dan kemuliaan mati syahid sebagai pemantik. Padahal umat Islam sudah demikian terbelenggu oleh materialisme dan kenikmatan hidup (yang damai).
Pertanyaan masyarakat belum akan terjawab, jika sekiranya mereka sudah terpanggil mendukung jihad Aceh: memangnya jihad melawan siapa jika lokasinya di Aceh? Pertanyaan ini ternyata lebih fasih dijawab oleh polisi; tuh kan mereka ini orang-orang jahat, tidak ada musuh yang jelas kok ngajak perang. Mereka hanya mau membuat onar. Jika masyarakat Aceh ikut, hanya akan menambah kesengsaraan saja. DAKWAH POLISI ini terbukti lebih manjur dan lebih simpel, sehingga mudah dipahami masyarakat.

Keberhasilan Abu Mus'ab Az-Zarqawi menghidupkan jihad di Iraq karena ada pemicu yang sangat kuat, yakni hadirnya penjajah asing yang kafir dan sangat kejam. Tiga kata (yang dibold) tersebut menjadi pemicu yang sangat kuat, sehingga berhasil menarik pasukan Saddam dalam barisan jihad.

Pemantik yang digunakan oleh pelaku hanya kosa kata jihad, fardhu 'ain, Al-Qaeda dan mati syahid. Padahal kata ini masih sangat absurd di kalangan masyarakat yang mendiami sekitar lokasi "proklamasi jihad" Aceh tersebut. Bagaimana mungkin jihad di gunung bisa eksis, jika masyarakat di kaki gunung tidak mendukung, memberi bantuan logistik dan lain-lain. Dalam hitungan hari pasti akan digulung dengan mudah.

Para mujahid Aceh tampaknya bermazhab bahwa jihad adalah tujuan, bukan cara. Bahkan lebih ekstrim lagi, menjadikan mati syahid sebagai tujuan. Akibatnya, tak perlu mempertimbangkan analisa menang atau kalah, mampu atau tidak mampu. Pokoknya jihad. Sama dengan shalat, pokoknya harus dikerjakan di manapun dan dalam kondisi apapun, meski dalam keadaan sakit sekalipun. Padahal jika mujahid hanya merencanakan mati (syahid), ia sedang merancang kekalahan.

Sibuk Menyalahkan Musuh

Ketika umat Islam mendapat serangan dari musuh, masih banyak yang sibuk menyalahkan musuh. Amerika dijadikan sasaran caci maki. Amerika negara jahat, pemerintah SBY arogan dan sebagainya. Ini semua benar, tak ada yang salah dengan ungkapan ini.

Permasalahannya adalah, sikap ini membiasakan kita menutupi kelemahan dan kegagalan kita dengan mengkambing-hitamkan pihak lain. Menyalahkan musuh yang lebih pintar. Padahal kesalahan sejatinya terpulang pada kelemahan umat Islam sendiri.

Sebagai ilustrasi, kesebelasan Indonesia bertanding melawan kesebelasan Brazil. Jika kalah dalam pertandingan, Indonesia tak bisa menyalahkan Brazil. Karena memang satu-satunya tugas pemain Brazil saat bertanding adalah mengalahkan Indonesia, sebagaimana Indonesia obsesi tertingginya juga mengalahkan Brazil. Ketika kalah, setiap kesebelasan pasti sibuk membenahi skuadnya, bukan sibuk menyalahkan kecerdikan musuh atau menyalahkan wasit. Tindakan selalu menyalahkan musuh adalah kebodohan yang akan ditertawakan dunia. Sebuah kecengengan yang kanak-kanak.

Tapi sayang, banyak umat Islam yang selalu sibuk menyalahkan Densus 88, kepolisian dan pemerintah - siapapun presidennya. Para aparat itu digaji untuk membela ideologi Nasionalisme, Demokrasi dan hukum non syariat. Bagaimana mungkin kita berimajinasi bahwa mereka akan memberikan kasih sayang kepada para mujahidin yang 'digaji' oleh Allah untuk membela Tauhid, umat Islam dan hukum syariat. Kedua belah pihak memiliki ideologi yang bertolak belakang. Menang atau kalah terpulang sepenuhnya kepada mekanisme pertarungan, tanpa perlu merengek agar musuh melunakkan perlawanan. Kita hanya boleh menyibukkan diri meratapi kelemahan internal, mengevaluasi kesalahan, dan mengoreksi apapun yang keliru.

Mengapa umat Islam dengan mudah dijajah AS? Mengapa mujahidin yang semestinya kuat, bisa digulung dengan gampang oleh densus 88?

Paradigmanya harus dibalik. Bukan menyalahkan Densus 88, pemerintah SBY, Israel atau AS. Tapi menyalahkan diri sendiri; ada kesalahan apa sehingga mujahidin begitu mudah dihabisi? Ada kekeliruan strategi apa sehingga kalah? Ada kemunkaran apa? dan seterusnya.

Adapun menyalahkan Densus 88 sebagai sebuah strategi melemahkan Densus 88 di hadapan umat, ini bisa dibenarkan. Karena dengan melemahkan citra Densus 88 di mata umat Islam, dukungan terhadap Densus akan berkurang. Dengan begitu umat bisa diajak mendukung mujahidin, bukan mendukung densus 88.

Maka, dari sini mestinya umat Islam sibuk mengevaluasi apa yang dilakukan mujahidin Aceh. Disisir satu persatu. Sehingga kelak menjadi sekumpulan pelajaran yang berguna untuk bercermin. Jika ingin melakukan hal yang serupa, apa yang perlu diperbaiki.

Maka berhentilah menyalahkan musuh, tapi salahkan diri sendiri (diri umat Islam yang kita menjadi salah satunya).

Tolok Ukur Muhasabah: Keberlangsungan Jihad dan Kemenangan Islam

Kita sebelum melakukan muhasabah, mesti menyepakati tolok ukur yang akan digunakan. Sebab, kekeliruan memilih tolok ukur, menjadikan kekalahan dipandang sebagai kemenangan.

Misalnya, jika kita menggunakan mati syahid sebagai tolok ukur, maka jihad Aceh 2010 sudah cukup berhasil. Berhasil apa? Mempersembahkan syuhada! Karena faktanya, lumayan banyak yang gugur sebagai syuhada (kama nahsabuhu wala nuzakki 'alallah ahadan).

Jika tolok ukurnya adalah kemampuan membunuh musuh, jihad Aceh juga bisa dianggap cukup berhasil karena untuk pertama kali bisa membalik fakta: biasanya Densus 88 dan anteknya selalu dalam posisi membunuh, tapi bisa dibuat dalam posisi terbunuh. Dan jumlahnya juga fantastis ! Kompas menyebutnya 5 orang.

Jika tolok ukurnya penangkapan oleh Densus 88, jihad Aceh juga relatif "berhasil". Karena mempersembahkan kader-kader jihad dalam jumlah yang cukup banyak sebagai penghuni hotel Prodeo. Dan kisah penangkapannya juga relatif mudah.

Jika kemampuan meniru Al-Qaeda dalam style propagandanya, jihad Aceh juga cukup berhasil. Mereka bisa merekam propagandanya dengan latar yang indah; hutan rimba dan bukit-bukit yang lebat. Seruannya juga jelas; mengajak umat Islam untuk bergabung dengan mereka di hutan. Hanya sedikit ada perbedaan dengan Al-Qaeda, mereka melakukannya dengan cara melecehkan kegiatan dakwah dan sosial keumatan yang dilakukan anasir umat sendiri. Mereka menihilkan apapun kecuali jihad. POKOKNYA JIHAD !

Tampaknya Al-Qaeda menjadi inspirasi terpenting. Hal ini tak bisa dihindarkan, karena siapapun bicara jihad, tidak akan bisa mengabaikan fenomena Al-Qaeda yang kian mengglobal dengan makin meluasnya internet. Al-Qaeda menjadi model impian bagi semua aktifis yang terobsesi jihad. Mudah didapatkan di internet, pesan-pesannya sangat kuat dengan gaya "hitam-putih" dan membakar adrenalin kaum muda. Mereka tak perlu panjat tebing, cukup dengan duduk di depan internet, mereka sudah terbakar adrenalinnya.

Ini semua menurut penulis, bukanlah tolok ukur keberhasilan jihad Aceh. Meski secara umum kita harus mengapresiasi jihad yang mereka proklamasikan. Tak ada do'a kita untuk mereka kecuali semoga amal ibadah mereka diterima oleh Allah. Dan tak ada pilihan sikap bagi kita kecuali menjadi kader yang suatu saat nanti akan melanjutkan jihad mereka, tentu saja dengan tidak mengulangi "kesalahan" mereka setelah kita evaluasi. Tapi melanjutkan bukan bermakna harus di Aceh atau di wilayah Indonesia yang lain. Melanjutkan yang kami maksud adalah melanjutkan jihadnya, bukan melanjutkan keharusan Acehnya apalagi "kesalahan"nya. Artinya, kita harus menjadi mata rantai dan jejaring jihad umat Islam global, setelah mereka terlebih dahulu memastikan diri sebagai salah satu cincin dari rantai jihad global.

Maka tolok ukur keberhasilan harus kita sepakati sisi keberlangsungan jihadnya, dukungan umat Islam atasnya dan kemampuan melemahkan musuh hingga mengalahkannya. Jika jihad Aceh 2010 hanya dalam hitungan pekan berhasil digulung musuh, maknanya kita harus melakukan evaluasi, ada kesalahan apa. Jika umat Islam tidak mendukung dan terpanggil bergabung dalam kafilah jihad, berarti ada yang perlu kita perbaiki (next time better). Bila jihad Aceh 2010 tidak mampu melemahkan musuh apalagi mengalahkannya, maknanya ada yang perlu disiapkan lebih serius untuk mengalahkannya.

Memang benar, bahwa kita tidak dibebani oleh Allah dengan keharusan mengalahkan musuh, tapi tak bisa dipungkiri bahwa syariat jihad merupakan alat terbaik yang Allah sediakan bagi kita untuk mengalahkan musuh. Bila senjata terbaiknya saja tak mampu kita gunakan, lalu dengan cara apa lagi kita akan bisa mengalahkan musuh?

Teori dasarnya; JIHAD PASTI MENGHASILKAN KEMENANGAN jika DILAKUKAN DENGAN BENAR. Bila hasilnya kekalahan, maknanya kita harus dengan dada lapang berani mengevaluasinya. Bisa jadi eksperimen ini akan terjadi berulang, dan terus dilakukan evaluasi, untuk mencapai tujuan terbesar: menghasilkan kemenangan. Abu Mus'ab As-Sury mencontohkan, dengan menulis refleksi jihad Syria, lalu refleksi yang lebih luas dalam bukunya dakwah muqawamah. (Diterbitkan sebagian serinya oleh penerbit Jazera Solo dengan judul: Perjalanan Gerakan Jihad). Buku ini berisi refleksi jihad global, evaluasi kekurangan-kekurangannya dan bagaimana strategi ke depannya demi memastikan jihad menghasilkan kemenangan.

Jihad; tujuan atau sarana

Salah satu perdebatan sengit yang berkembang di tengah aktifis jihad, apakah jihad dipandang sebagai sarana untuk mencapai kemenangan ataukah tujuan dan terminal akhir dari serangkaian penghambaan kepada Allah? Meski perdebatan ini tak mencuat ke permukaan dalam bentuk silat lidah, tapi terrefleksikan dalam pilihan tindakan.

Mazhab sarana akan meletakkan jihad sejajar dengan semua ibadah yang lain. Setiap ibadah dibingkai oleh maqashid syariah yang sesuai dengan karakternya. Shalat dibingkai maksud hubungan kepatuhan vertikan secara ritual. Shaum dibingkai tujuan pengendalian hawa nafsu dan kejujuran pribadi kepada Allah. Zakat dibingkai tujuan kesetiakawanan sosial dalam hal harta, dan menghilangkan mental kikir. Nahi munkar dibingkai tujuan menghilangkan kemungkaran di tengah umat Islam. Sementara jihad dibingkai tujuan pengorbanan pribadi dalam membela Allah dan mengalahkan musuh Allah.

Jihad itu ibadah. Tapi dalam pelaksanaannya, tak semata dilandasi tujuan melaksanakan ibadah. Terdapat sejumlah syarat untuk melaksanakannya, ada aturan yang menyertainya. Tidak asal melaksanakan perintah Allah bernama jihad.

Hal ini serupa dengan ibadah nahi munkar. Tak asal nahi munkar. Jika nahi munkar diprediksi justru melahirkan kemunkaran lebih besar, nahi munkar tak boleh dilakukan. Bukan semata nahi munkar.

Para penganut mazhab sarana akan cenderung mempersiapkan jihad dengan melakukan dakwah, pembinaan keumatan, layanan sosial, pendidikan dan sebagainya. Mereka tak menihilkan peran dakwah sebagai alat lain dalam menegakkan Islam. Posisinya sejajar, karena hajat umat kepada dakwah tidak kalah besar dibanding hajat umat terhadap jihad. Keduanya dilakukan secara simultan, tidak ada yang dianak-tirikan. Paradigma ini yang semestinya digunakan dalam melihat ibadah bernama jihad.

Sementara penganut mazhab tujuan, tindakannya hanya terfokus pada pelaksanaan jihadnya sebagai sebuah fardhu 'ain. Mereka mengabaikan pernik persoalan yang bersifat menunjang keberlangsungan jihad. Mereka ingin semua orang Islam datang berduyun-duyun menyambut seruannya, pergi ke hutan dan gunung-gunung di Aceh dan bergabung dengan mereka. Mereka meninggalkan dakwahnya, pesantrennya, lembaga sosialnya, dan segala hal yang tidak ada potret "memegang senjata"nya.

Padahal jihad membutuhkan dukungan dakwah, dana, jurnalistik, pakar komunikasi, pakar teknologi, dan kepakaran lain. Memerlukan kesinambungan SDM yang akan memikul beban jihad ini. Bagaimana mungkin jihad akan berlanjut, jika mesin penyuplai mujahid harus ditinggalkan, seperti pesantren, madrasah, majlis taklim dan sejenisnya?

Kesan kuat yang muncul dari jihad Aceh adalah menjadikan jihad sebagai tujuan, bukan sarana untuk memperoleh kemenangan Islam. Ketika jihad menjadi tujuan, maka seorang mujahid akan mengabaikan pernik pendukung yang akan mempengaruhi kesuksesan jihad. Misalnya dakwah, dukungan masyarakat sekitar, dukungan media massa dan sebagainya.

Titik perhatiannya hanya bagaimana berjihad dan mengajak umat Islam untuk berjihad, meski ajakan itu menjadi sangat absurd (kabur) di mata umat Islam yang tidak mengerti apa-apa tentang wacana jihad. Mereka mendengar ajakan itu seperti angin lalu, karena tidak mengerti maksud ajakan itu.

Misalnya, jika ada yang menyambut seruan ini, mereka masih akan kesulitan menemui panitianya. Mereka bingung alamat sekretariatnya. Mereka belum tahu, apakah untuk gabung masih diperkukan adanya ujian masuk atau tidak? Mereka tidak tahu lokasi bukitnya. Mereka juga tak tahu, musuhnya siapa. Ini yang kami maksud absurd.

Jihad melawan Densus 88 di mata umat Islam merupakan sesuatu yang sulit dipahami. Mereka akan bilang, Islam lawan Islam. Wajar, karena mayoritas anggota Densus 88 pastilah beragama Islam, mengikut jumlah umat Islam yang mayoritas di negeri ini.

Problem ini membutuhkan dakwah. Lalu bagaimana jihad akan mendapat dukungan luas, jika dakwah dinihilkan? Dakwah dilecehkan sedemikian rupa dalam rilis mujahidin Aceh. Seolah mereka hidup di planet lain, dan hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Dalam kedokteran, ini disebut penyakit autisme.

Merumuskan Peta Kontribusi Umat Islam

Mujahidin perlu merumuskan peta kontribusi umat yang dibutuhkan untuk menegakkan Islam, dalam rangka memastikan semua unsur umat bisa mengambil peran sesuai minat dan kemampuan. Karena dalam realita seperti Indonesia saat ini (2010), rasanya tak mungkin berimajinasi bahwa seluruh umat Islam mendukung jihad, apalagi ikut hadir di medan jihad.

Kecuali jika realitanya seperti Iraq atau Afghan, ketika musuh yang kafir dengan beringas menyerang umat Islam, maka diperlukan sebanyak mungkin kader umat yang harus datang ke medan jihad. Dalam situasi semacam ini, kontribusi yang paling dibutuhkan dan efektif bagi umat adalah memanggul senjata untuk mengusir penjajah yang kafir sesegera mungkin.

Peta kontribusi yang dimaksud, misalnya untuk menjawab pertanyaan seorang wartawan muslim, apa kontribusi yang bisa ia berikan untuk jihad dan menegakkan Islam jika tak terjun langsung ke medan laga? Juga pertanyaan serupa dari kalangan pedagang, guru, dokter, petani, sopir, pelaut, ahli IT, insinyur, dan segala macam pernik profesi dan keahlian manusia.

Apakah mengobarkan jihad di Indonesia bermakna menyeru mereka semua untuk meninggalkan profesi masing-masing, dan berbondong-bondong menuju medan jihad? Sekali lagi, untuk kasus negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk muslimnya saja lebih dari 200 juta, dan tak ada "pemantik" untuk menyalakan pertempuran, apakah itu pilihan yang bijak untuk tegaknya Islam di sini?

Ataukah ada toleransi dengan membiarkan mereka menekuni profesinya, tapi bisa berkontribusi untuk tegaknya Islam? Jika jawabannya ya, maka yang mereka butuhkan adalah sebuah peta kontribusi. Mereka masih bisa bekerja di bidangnya masing-masing, sambil "menabung" kontribusi dalam sebuah mata rantai yang berujung pada jihad fi sabilillah. Setahu saya, belum pernah dibuat blueprint (cetak biru) peta kontribusi yang mencakup seluruh aliran dan keahlian umat Islam, minimal di Indonesia.

Umat Islam Indonesia memiliki beberapa situs yang gencar menyuarakan tema dan berita jihad, semisal Arrahmah.com, Muslimdaily.net, Eramuslim.com dan lain-lain. Mujahidin tak perlu memprofokasi para admin situs-situs tersebut untuk meninggalkan posnya demi pergi ke bukit-bukit pertempuran. Sebab keberadaan pos-pos tersebut amat vital dalam mengedukasi umat tentang jihad dan mengadvokasi para mujahidin dari kasus-kasus yang menjerat mereka.

Demikian pula jika ada dokter, baik yang umum maupun spesialis. Keahlian mereka perlu dipelihara di tempat kerja mereka masing-masing, untuk suatu saat digunakan. Kader-kader umat yang menggeluti dunia teknik dan rekayasa, biarkan mereka berkembang di tempat kerja mereka masing-masing, karena jihad amat membutuhkan keahlian mereka pada saatnya nanti.

Bahkan lembaga-lembaga dakwah yang hidup di tengah umat dengan segenap ragam dan fokus perhatiannya juga perlu dipelihara. Misalnya ada lembaga yang fokus memberantas kemunkaran (FPI), menekuni pendidikan untuk anak-anak muslim (pesantren dan sekolahan), spesialis menghantam aliran sesat (LPPI), spesialis melawan Liberalisme dan Pluralisme (INSIST: Adian Husaini dkk), spesialis melawan Syiah, spesialis melawan Kristenisasi (FAKTA dll) dan semua elemen umat yang berperan menjaga rumah besar umat dari rongrongan tikus-tikus kemunkaran dan kesesatan.

Paradigma ini dilandasi pandangan bahwa jihad bukan obat segala penyakit. Jihad bukan seperti iklan sebuah produk minuman: apapun makanannya, minumannya teh botol sosro. Untuk melawan Syiah di Indonesia, tak bisa dengan mengancam mereka dengan senjata dari bukit-bukit jihad. Karena mereka menyusup dengan cerdik seperti bunglon di semua lini kehidupan di kota-kota dan desa-desa. Mereka punya aqidah bernama Taqiyah, yaitu keharusan berpenampilan layaknya musuh untuk mengalahkan musuh. Paling baik dan efektif membongkar kedok mereka adalah dengan al-kitab, bukan dengan as-saif.

Membongkar kebusukan mereka adalah melalui ilmu dan dakwah, bukan menantang mereka adu senjata karena wujud mereka pun sulit dikenali. Bukankah Islam ditegakkan dengan dua sarana; al-kitab al-hadiy dan as-saif an-nashir (Kitab yang berfungsi memberi petunjuk, dan pedang yang berfungsi menolong). Kitab melambangkan ilmu dan dakwah, sementara saif melambangkan jihad fi sabilillah. Tanpa perpaduan keduanya, perjalanan Islam akan pincang. Jika hanya menonjolkan kitab, akan dilecehkan musuh. Jika hanya menonjolkan saif, Islam akan tampak garang laksana preman, sehingga orang takut mendekat.

Wilayah Indonesia dengan jumlah muslimnya mayoritas ini yang terbaik adalah dijadikan obyek dakwah, belum lagi obyek jihad. Bukan sembarang dakwah, tapi dakwah yang mendukung perjalanan jihad. Umat dibimbing untuk bisa memahami, mengamalkan dan membela Islam dengan benar. Jika variasi keahlian dan profesi mereka dikelola dengan baik, kekuatan umat bisa digunakan untuk menagakkan Islam pada saatnya nanti bila momentumnya sudah tiba. Sayangnya, manusia kerap tak mampu menundukkan sifat aslinya; isti'jal (tergesa-gesa). Ingin menegakkan Islam laksana sulap. Atau minimal ingin mencapai hasil laksana preman; todongkan senjata, semua urusan akan selesai.

Teliti dalam Merekrut Kader Jihad

Jihad yang bermakna pertempuran di medan perang, harus memilih kader-kader terbaik yang memiliki tingkat keamanan yang tinggi. Sebab sudah berulang kali jihad bersenjata dikumandangkan di Indonesia, tapi selalu berujung pada penangkapan yang menyedihkan. Kita harus sangat teliti dan selektif dalam memilih kader yang siap berjihad dengan senjata, karena karakter jihad berbeda dengan karakter dakwah.

Tidak semua orang yang lisannya dengan manis mendukung jihad merupakan orang yang tepat untuk diajak berjihad ke medan tempur. Intelijen berkeliaran, yang banyak di antaranya berpenampilan sangat "salafi" dan sangat "jihadi". Amat sulit membedakan mana orang yang sungguh-sungguh lagi aman untuk diajak jihad dari kalangan yang justru akan merusak jihad.

Intelijen bekerja dengan sangat serius untuk menjegal barisan mujahidin. Tak bisa kita hanya mengandalkan kader jihad dengan melihat pada penampilan lahirnya, tapi kita harus benar-benar merasa aman dan sangat kenal dengan orang yang menjadi partner jihad kita. Hati-hati dengan kader jihad "karbitan", yaitu mereka yang hanya semangat jika berbincang soal jihad, tapi ogah-ogahan ketika diajak bicara soal bagaimana cara wudhu yang benar sesuai sunnah Nabi saw, soal kesucian (thaharah), dan soal najis. Mereka enggan dan tidak antusias bicara soal jilbab untuk istri dan anaknya, soal pilihan sekolah untuk anaknya, soal interior rumah yang islami, soal menangis karena takut kepada Allah, soal zuhud, soal wara' , soal usaha yang halal, soal riba, soal ittiba' kepada Rasulullah saw dan seterusnya.

Indonesia bukan tempat yang sedang berkecamuk konflik seperti Afghan, Iraq, atau Somalia. Di wilayah konflik, tak diperlukan ketelitian yang terlalu ketat dalam merekrut kader jihad. Siapa pun yang punya cukup keberanian untuk datang ke medan tempur dan ingin berjihad bersama mujahidin, harus diterima dengan tangan terbuka.

Tapi untuk kasus seperti Indonesia, yang bukan negara konflik, kita tak bisa serta merta merasa aman bekerja dengan kader jihad "karbitan". Tidak semua yang menampakkan ketertarikan dengan tema jihad layak untuk diajak ke medan jihad.

Inilah karakter jihad. Berbeda dengan karakter dakwah, yang sangat open. Siapa pun bisa diajak bergabung dalam barisan dakwah. Siapa pun yang bertanya tentang Islam, kita wajib menjelaskan, tanpa boleh menolak. Bahkan jika yang meminta itu dari kalangan intelijen yang ingin menjebak seorang da'i. Siapa pun yang tertarik dengan dakwah dan menyebarkan Islam asalkan terlihat itikad baiknya, kita mesti mengapresiasinya.

Sementara dalam jihad, barisan mujahidin boleh (bahkan harus) menolak kaum munafiq untuk masuk dalam barisan jihad, jika ternyata ia akan justru merusak agenda jihad. Lihat Surat At-Taubah ayat 83. Tapi ketika Rasulullah saw berada di Madinah, beliau tetap tampak dekat dan akrab dengan kaum munafiq, karena kehidupan di Madinah bercorak dakwah. Alkisah menyebutkan, gembong munafiq zaman Nabi saw yang bernama Abdullah bin Ubay biasa shalat di belakang Nabi saw.

War, Bukan Battle (Perang, Bukan Tempur)

Jihad mestinya dimaknai sebagai peperangan semesta, bukan bentrokan sesaat. Kesalahan dalam mempersepsikan jihad akan melahirkan kekeliruan dalam merealisasikan jihad.

Dalam bahasa Inggris, ada istilah war dan ada istilah battle. War adalah peperangan panjang antara dua pihak. Sementara, battle adalah bentrokan sesaat antara dua kelompok yang bersenjata. Atau dengan kata lain, war (perang) merupakan serangkaian battle (tempur) yang dilakoni dua pihak yang saling berseteru.

Pertarungan antara umat Islam melawan kaum kafir dengan segenap anteknya merupakan pertempuran dan pertarungan panjang yang bersifat lintas generasi. Oleh karenanya lebih tepat disebut perang (war). Permusuhan yang melibatkan seluruh sisi kehidupan, segala jenis keahlian, dan semua ragam kehidupan manusia. Bahkan tanpa ada batas waktu.

Kedua belah pihak menggunakan segala daya kemampuan dan cara untuk mengalahkan lawannya. Ada adu kesabaran dalam mengintai. Ada adu cerdik dalam menjebak. Ada adu pintar dalam mengelabuhi. Ada adu kekuatan dalam benturan senjata. Ada adu kecanggihan teknologi. Ada adu kekuatan ekonomi. Ada adu ketangguhan mental. Ada adu soliditas barisan. Ada adu ketajaman membidik. Semua puncak ilmu dan kehebatan masing-masing diramu dan diracik sebaik mungkin untuk menghasilkan kemenangan.

Jihad fi sabilillah-oleh karenanya-lebih tepat diletakkan dalam makna war atau perang, bukan tempur atau battle. Jihad bukan semata bagaimana dapat memukul dan mengalahkan musuh dalam waktu singkat tapi tak mampu memelihara kemenangan itu. Jika ukurannya bisa memukul musuh di salah satu sesi tempur, bukan merupakan kemenangan jihad. Kemenangan jihad adalah bila mampu memenangkan pertempuran dan dapat memelihara kemenangan itu dengan tegaknya sebuah kekuasaan, karena tujuan utama jihad adalah menghilangkan hambatan dalam melaksanakan Islam dalam tataran negara.

Dengan demikian, jihad menghajatkan pula kemahiran berpolitik, selain membangun kekuatan ekonomi. Ada renungan menarik dari seorang tokoh jihad Afghan yang berasal dari Arab. Renungan ini ditampilkan oleh Hazim Al-Madani dalam bukunya Hakadza Nara al-Jihad.

Berikut catatan Hazim Al-Madani:

Hasil akhir semua rangkaian eksperimen jihad global umat Islam: kita cukup sukses dalam mencapai angka-angka keberhasilan secara militer (tempur), tapi pencapaian kita nol besar di bidang politik. Saya ingat (kata Hazim Al-Madani), suatu hari seorang tokoh jihad Arab di Afghanistan berkata: "Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa jiwa ikhlas, dan berhasil menghidupkan kecintaan mati syahid. Tapi kita lalai memikirkan kekuasaan (politik), sebab kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Hasilnya, kita sukses mengubah arah angin kemenangan dengan pengorbanan yang mahal, hingga menjelang babak akhir saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan "rahmat" kepada kita - demikian kosa kata yang biasa mereka gunakan - untuk menjinakkan kita."

Saat itu banyak yang tak sependapat dengan refleksi ini, meski banyak pula yang sepakat. Tapi realita yang kemudian terjadi membuktikan kebenaran sinyaleman ini. Seluruh dunia mengusir eksistensi mujahidin Arab pasca perang melawan Rusia (saat itu Uni Soviet). Mujahidin yang pulang kampung 'diberi rahmat' (baca; ditangkap) oleh negeri mereka masing-masing. Demikian catatan Hazim Al-Madani.

Namun harus diingat, kalimat ini bukan dalam rangka menjustifikasi politik najis ala partai politik di Indonesia. Bukan politik kotor yang dipamerkan para penyembah dunia dengan cara mengaduk al-haqq dengan al-bathil, menyamarkan kebenaran atau mengurangi harga kebenaran. Tidak, sekali lagi tidak. Tapi yang dimaksud, politik yang kita baca dari cara Nabi saw mengelola urusan umat baik dalam masalah sosial, dakwah dan jihad di medan tempur. Politik yang bermakna mekanisme baku dalam menegakkan peradaban manusia. Jika kita melalaikan mekanisme baku yang berlaku secara global ini, kita hanya akan berputar tanpa ujung disebabkan kita tak mencontoh Nabi saw dan tidak menapaki sunnatullahnya: hukum alam sebab akibat.

Jihad bisa memakan waktu yang sangat lama, seperti Perang Salib yang berlangsung sekitar 200 tahun. Jihad Afghan saat sukses menaklukkan Uni Sovyet pada tahun 90-an menjadi pelajaran berharga buat kita. Ternyata setelah mujahidin ditolong oleh Allah sehingga mampu mengusir Uni Sovyet, mereka bertengkar sendiri dan Afghan menjadi sangat lemah dan letih dengan perseteruan internal. Alhamdulillah Allah menyelamatkan hasil jihad panjang puluhan tahun itu dengan munculnya Taliban, yang berhasil menyatukan barisan umat Islam Afghan dalam satu shaf, sebelum akhirnya dirusak kembali oleh Amerika dengan jargon "War on Terror"-nya pada tahun 2001.

Maka kita harus mengartikan jihad dengan makna perang (war) bukan pertempuran (battle). Dalam bahasa Arab juga dibedakan. Pertempuran atau battle disebut dengan qital, harb atau ma'rakah. Sedangkan perang digunakan istilah jihad. Itulah mengapa kita tak menemukan istilah dalam Al-Qur'an berupa rangkaian kata qital dengan amwal. Artinya tak ada pertempuran dengan harta. Rangkaian yang ada adalah kata jihad dengan amwal, yang artinya berjihad dengan harta. Terdapat 9 ayat yang berisi rangkaian kata jihad dengan amwal, sementara tak ada satupun ayat dengan rangkaian kata qital dengan amwal.

Ini artinya, jihad bukan semata tempur adu senjata di medan laga, karena jihad bisa dilakukan dengan harta. Kalau sekiranya jihad hanya bermakna tempur, tak ada istilah jihad dengan harta. Jihad adalah perang atau war yang bersifat semesta, meliputi seluruh elemen kehidupan manusia. Meliputi militer, politik dan ekonomi. Maka, pastikan seluruh umat Islam tahu peta kontribusi untuk jihad dalam rangka menegakkan Islam. Jangan sampai ada potensi umat Islam yang tercecer tak terrangkai dalam untaian jejaring kekuatan jihad global dalam rangka memenangkan Islam dan mengubur kesombongan kaum kafir dengan segenap anteknya.

Mujahidin Harus Menyatu dengan Umat

Mujahidin ibarat ikan, umat adalah airnya. Jika mujahidin meninggalkan umat, umatpun akan meninggalkan mujahidin. Keduanya saling membutuhkan secara berimbang. Oleh karenanya, hubungan mujahidin dengan umat mesti harmonis dan sinergis, bukan saling merendahkan bahkan saling melaknat.

Umat Islam butuh bimbingan untuk memahami Islam. Mereka perlu diberi pencerahan tentang bagaimana cara membela dan menegakkan Islam. Kontribusi mereka harus dihargai, bukan diremehkan.

Mujahidin perlu memberitahukan dengan jelas maksud perjuangannya, dengan memberi rasa aman terhadap umat Islam dari dampak yang mungkin timbul dari perjuangan tersebut. Memang dampak buruk duniawi tak bisa dipungkiri akan selalu menyertai dari setiap perjuangan.

Hazim Al-Madani, dalam bukunya hakadza nara al-jihad mengingatkan kita akan pentingnya masalah ini. Untuk sekedar diketahui, Hazim Al-Madani adalah salah seorang tokoh jihad Afghan dan punya kedekatan dengan lingkar dalam Al-Qaeda.

Berikut tulisannya:

"Saat ini, dunia internasional berkoalisi memerangi kita. Jika ada yang tidak ikut dalam koalisi ini, sejatinya bukan karena simpati kepada kita. Tapi lebih disebabkan keinginan untuk memperoleh bagian lebih besar dari ghanimah ini (kita semua adalah ghanimah bagi mereka). Meski realitanya demikian, mereka yang tidak masuk dalam koalisi internasional ini berpotensi untuk dijalin kemitraannya dengan kita. Tapi masalahnya, kita wajib mengutamakan mitra setia yang bersedia berkorban untuk kita, bukan mitra yang suatu saat akan mengkhianati kita. Dan singkat kata, mitra setia itu adalah umat Islam sendiri.

Aku tekankan poin ini dengan adanya bukti sejarah yang menguatkannya. Dengan bukti-bukti ini saya berharap putra-putra umat yang terlibat dalam kancah amal islami yakin bahwa umat mereka berdiri tegak di belakang mereka, membela mereka dan menebus pengorbanan mereka dengan apa saja yang mereka punya, tanpa pernah meninggalkan mereka berjibaku sendirian di medan pertarungan.

Afghanistan pasca hengkangnya Uni Soviet, saat dukungan pemerintah Arab dan Islam berhenti disebabkan intervensi Amerika, tatkala pemerintah-pemerintah itu tak lagi tertarik mendukung mujahidin untuk memetik buah kemenangannya. Siapakah yang mengulurkan bantuan sehingga muncul gerakan Taliban? Apakah pemerintah dan bala tentaranya itu yang membantu ataukah putra-putra umat ini? Bukankah individu-individu umat Islam yang menyisihkan sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?

Somalia, saat terjadi atraksi jihad menawan melawan koalisi internasional, siapakah yang mengulurkan bantuan kepada mujahidin sehingga tentara Amerika lari tunggang-langgang dari sana? Siapa yang melakukan atraksi jihad itu? Apakah pemerintah Somalia dengan bala tentaranya ataukah putra-putra umat Islam? Bukankah unsur umat Islam yang rela memangkas sebagian penghasilannya untuk disumbangkan kepada mujahidin dengan suka rela?

Bosnia, saat berkecamuk perang sipil yang mengerikan, siapakah yang mengulurkan bantuan untuk membela umat Islam yang menjadi korban pembantaian? Apakah pemerintah dan pasukannya ataukah umat Islam melalui putra-putra terbaiknya? Siapa yang mengulurkan bantuan ekonomi? Bukankah umat Islam yang dengan suka rela menyisihkan sebagian nafkahnya untuk disumbangkan dengan suka rela?

Chechnya, yang dua kali dihantam gelombang penyerbuan dari tentara Rusia, saat dunia sudah berada dalam genggaman hegemoni Amerika. Siapakah yang mendanai mujahidin dalam membela setiap jengkal tanah Cechnya? Apakah penguasa dan prajuritnya, ataukah umat Islam dengan segenap jiwa, raga dan hartanya?

Palestina, sepanjang untaian nestapa mereka, dan kisah heroik perlawanan Intifadhah. Semua ini menjadi contoh betapa pengorbanan sedang ditunaikan umat dan akan selalu ditunaikan.

Bahkan kita tidak tahu, apakah dukungan materi dari umat Islam itu sampai ke tangan mujahidin Palestina ataukah dirampok oleh para penguasa Arab. Di sini jelas, siapa yang berkorban dan siapa yang justru menghambat.

Yaman, siapa yang meledakkan kapal induk Amerika USS Cole hingga terkoyak. Jelas, bukan tentara Yaman, tapi unsur umat Islam.

Siapa yang menghantam New York dan Washington pada hari Selasa yang penuh berkah pada tahun 2001? Apakah para penguasa dan bala tentaranya, ataukah umat Islam? Mereka mempersembahkan putra-putra terbaiknya dan dengan sukarela membagi nafkahnya untuk jihad dan mujahidin.

Peta pertarungan telah terkunci mapan. Tapi bukan antara Barat dengan Timur, atau antara Utara dengan Selatan. Tapi antara blok kufur dengan blok iman. Ibarat dua sisi timbangan, sebelah diisi kaum kafir dengan segenap antek-antek dan perlengkapannya, dan sisi yang lain diisi mujahidin dan umat Islam dengan segenap dukungan dan perlengkapannya pula.

Jelaslah, umat Islam menempati satu papan pertarungan, sementara yang lain ditempati blok kafir dunia. Fakta ini dipahami dengan baik oleh Barat dan para penguasa dunia. Oleh karenanya, mereka selalu melakukan upaya sistematis untuk memisahkan kita (mujahidin) dengan umat Islam. Allah akan selalu menang, tapi banyak manusia yang tak meyakininya. Sesunggunya sandaran hakiki mujahidin setelah kepada Allah adalah kepada umat Islam yang selalu merindukan tegaknya undang-undang Al-Qur'an dalam kehidupan mereka hingga mereka bertemu Allah. Bukan bersandar kepada para penguasa dan aparat di negeri mayoritas muslim, karena rongga otak dan perut mereka sudah tersumbat oleh obsesi dunia dan politik yang berselera rendah.

Kewajiban mujahidin adalah menjadikan umat Islam dalam barisannya, tak boleh meninggalkan mereka sekejappun karena akan dimanfaatkan para penguasa dan hukum kufur. " (selesai, kutipan dari Hakadza Nara Al-Jihad).

Semoga kita bisa menghidupkan jihad di Indonesia dan memastikan Islam merdeka di sini. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar