
Oleh   : Aru   Syeif Assadullah 
Perilaku  elit politik dan kekuasaan—baca : penguasa-- di negeri  ini belakangan,  sungguh sangat amat mengkhawatirkan. Berbagai kasus  besar belakangan,  justru telah membongkar borok kaum elit yang ternyata  permanen mengidap  watak kelam   : Korup, permisif, dan hedonis.Ini yang menjadi jawaban,  kendati  pemerintahan SBY, dua periode pemerintahannya selalu  membanggakan dan  terus menggencarkan pemberantasan korupsi, tapi  Maret  2010 lalu,  Indonesia ditetapkan oleh lembaga Konsultan PERC Hongkong,  sebagai  negara paling korup di Asia-Pacific, di bawah negara-negara :  Vietnam,  Kamboja, dan Laos. Sungguh memalukan.
Ini yang  menjadi jawaban pula, sepanjang enambulan terakhir, kasus-kasus  korupsi  terus terbongkar, baik di tingkat daerah di seluruh Indonesia  tapi  juga sekaligus kasus-kasus kakap di tingkat pusat. Kasus-kasus  sogok  pun terus terbongkar di parlemen dan bagai semua anggota DPR  niscaya  terlibat baik DPR Pusat maupun DPRD, juga gubernur, bupati dan   walikotanya. Di tingkat pusat ada kasus menghebohkan tertangkap-basahnya   Jaksa Urip Gunawan yang sedang menangani kasus BLBI. Tak   tanggung-tanggung Urip disogok Rp 6 Milyar oleh Artalita sebagai suruhan   Sjamsul Nursalim. Ada pula terbongkarnya aliran dana BI yang segera   menjebloskan petinggi BI, mulai Gubernur BI Syahril Syabirin, Gubernur   BI Burhanuddin Abdullah, hingga Aulia Pohan pejabat tinggi BI lainnya   yang juga besan presiden SBY sendiri. Semua lapisan elite politik,   khususnya anggota parlemen dan elit kekuasaan, bagai semua terlibat   korupsi. Sulit mencari yang bebas dan tak terlibat korupsi.
Ketika masyarakat geger dengan munculnya peristiwa pembunuhan Nasruddin   Zulkarnaen yang membawa ketua KPK Antasari Azhar menjadi tertuduh  utama,  belakangan kasus ini ternyata membongkar kasus-kasus besar  lainnya.  Sebut saja kasus Kriminalisasi KPK yang menyeret Bibit Samad  Riyanto dan  Chandra M.Hamzah, dan akibatnya gerakan Pro KPK pun merebak  dengan isu  Cicak Versus Buaya dan menggelindingkan kasus kakap  ,Skandal Bank  Century. Munculnya para penyogok, yakni Anggodo adik  Anggoro ikut  memanaskan situasi karena dibongkarnya rekaman proses  sogok-menyogok  di  sidang Mahkamah Konstitusi, sangat mengejutkan  masyarakat luas.
Polri Versus Polri
Dari sidang-sidang  kasus pembunuhan Nasruddin Zulkarnaen itu memunculkan  kecurigaan Polri  bermain dan merekayasa kasus pembunuhan yang  mengerikan ini.Yang telah  membongkar adanya rekayasa ini justru  Williardi Wizard, mantan  Kapolres Jakarta Selatan yang menjadi terdakwa  bersama Antasari.  Mengapa Williardi yang perwira menengah Polri justru  membongkar bahkan  mendiskreditkan Polri sendiri?
Williardi atau Willi terpaksa  “Bernyanyi” membongkar kebohongan Polri  dalam kasus pembunuhan itu,  karena Willi mengaku dibohongi. Semula ia  dipaksa menandatangani BAP  yang menjatuhkan Antasari sebagai perancang  pembunuhan dengan janji  dirinya segera dibebaskan. Tapi nyatanya setelah  meneken BAP itu, ia  tidak dibebaskan sesuai janji. Karena itu dalam  persidangan Willi  “Bernyanyi” membeberkan rekayasa Polri itu. Jadilah  Polri versus Polri  sendiri. Kasus pembunuhan Nasruddin ini berakhir  dengan keputusan hakim  yang sangat ngambang. Antasari hanya dihukum 18  tahun penjara yang  mengindikasikan hakim ragu-ragu dengan keputusannya.  Nuansa Polri  terlibat rekayasa membayang di belakang.
Carut-marut kebobrokan  aparat penegak hukum, mulai Kejaksaan, Polri,  Hakim, hingga KPK  sendiri, menjadi menu berita sehari-hari. Padahal  kasus-kasus besar  seperti Skandal Century melalui forum Hak Angket DPR  selama dua bulan  lebih sidang-sidangnya disiarkan secara lanagsung oleh  beberapa stasion  TV. Rakyat pun dengan terang-benderang mengikuti  kejahatan perbankan  dengan kerugian negara sampai 6,7 Trilyun Rupiah.  Cermin kerakusan pun  terpampang nyata telah dilakukan pejabat tinggi  negara. Dan kejahatan  sangat hebat ini ujungnya justru dilindungi oleh  pemerintah tertinggi.  Rekomendasi DPR yang mutlak menyebut Sri Mulyani  dan Boediono bersalah  dan harus bertanggungjawab, sebaliknya oleh  presiden SBY justru  dianggap pejabat yang tidak bersalah, malah berjasa  hebat.
                                                              ***
Di tengah kasus-kasus korupsi terus bermunculan di tengah masyarakat   luas, ternyata heboh Skandal Century dibiarkan begitu saja. KPK diam   saja juga aparat hukum lainnya. Pemerintah pun diam seribu bahasa. Yang   muncul justru pembongkaran terus kasus-kasus korupsi yang melibatkan   lawan politik Partai Demokrat (partai Presiden SBY), yakni kasus suap   terpilihnya Miranda Gultom menjadi Deputy Gubernur Senior BI yang   melibatkan belasan anggota DPR dari PDIP, juga dari Golkar, PPP,dan   F-TNI. Kasus sogok Miranda Gultom ini sungguh membuat “merinding” telah   membongkar puluhan anggota DPR yang berperilaku korup luar biasa.  Mereka  “bancakan”  travel cek nilainya milyaran rupiah. Pelakunya   ternyata—seperti Hamka Yandhu dari Golkar-- juga terlibat kasus-kasus   korupsi yang terbongkar sebelumnya. Hal ini mengindikasikan betapa amat   rakus pelaku korupsi ini.
Pelaku korup dalam kasus Miranda  Gultom ini belumlah sophisticated  (canggih), mereka menerima travel cek  dan mencairkan ke Bank BII dengan  menyuruh sopir atau lainnya. Tatkala  sang sopir diperiksa KPK tentu saja  mereka “Bernyanyi” diutus oleh  boss nya. Dengan mudah para pelaku  didaftar dan dicokok, kendati belum  secara adil juga ikut ditangkap dan  diadili seperti Dudhi Makmun Murod  yang bernasib nahas. Terdaftarlah  tokoh beken PDIP terindikasi menerima  suap ini yakni : Panda Nababan,  Tjahjo Kumolo dan seterusnya.
Sebaliknya dalam kasus Skandal Century, aliran dananya sulit dilacak   siapa pelaku yang mencairkan karena kejahatan di Century sudah sangat   canggih. Pelaku kejahatan menggunakan KTP palsu, sehingga pelacakan akan   sulit dilanjutkan ketika sampai pada fakta KTP yang dipakai mencairkan   ternyata palsu. Fakta-fakta ini hanya memunculkan fenomena betapa kaum   elit negeri ini terus menumpuk kekayaan dengan cara-cara yang amat  jahat  dan dilakukan terus menerus bagai orang yang tak pernah  terpuaskan  mereguk minuman di Padang Pasir nan gersang. Segala cara  ditempuh,  segala kejahatan dikerahkan untuk mereguk kenikmatan dunia  tanpa batas,  bagai memang kaum elite negeri ini mengidap faham  hedonisme. Perhatikan  laporan jumlah kekayaan para pejabat tinggi  negara ke KPK selalu  diumumkan jumlah kekayaan yang selalu meningkat,  tanpa diperhitungkan  dari mana jumlah besar itu di dapat. Padahal kalau  diperhitungkan dengan  logika penghasilannya yang tetap, niscaya  mustahil pejabat yang  bersangkutan memiliki kekayaan sebanyak itu.
Susno Versus Polri
Di tengah suasana kecenderungan perilaku  elit politik dan penguasa yang  makin hedonistik dan korup itu,  tiba-tiba datang kabar yang  menggemparkan, dengan tampilnya keterangan  pers Mantan Kabareskrim  Kombes (Pol) Susno Duadji, yang terang-terangan  menuduh terjadi praktek  Makelar Kasus (Markus) di antara para jendral  dan Perwira Menengah  Polri. Praktek Markus ini kata Susno dilakukan  Brigjen (Pol) Raja  Erisman dan Brigjen (Pol) Edmon Ilyas yang kini  menjabat Kapolda  Lampung. Perang antar Polri pun kini berkobar kembali  antara Susno  versus Polri. Penegak hukum terkait kasus penggelapan  pajak senilai 24,6  Milyar Rupiah, ini juga diserang Susno ikut  terlibat, yakni Jaksa Cyrus  Sinaga, dan para hakim yang mengadili kasus  Gayus Tambunan yang semula  menyimpan uang Rp 24,6 M, dalam  tabungannya.
Rincian kasus menggemparkan ini adalah : adanya  simpanan mencurigakan  dalam tabungan pegawai Dirjen Pajak Gayus  Halomoan P.Tambunan (30 th),  sebesar 25 Milyar Rupiah.Dianggap mustahil  pegawai rendahan Dirjen Pajak  (Pangkat 3a) memiliki uang sebesar itu.  Pengusutan Bareskrim dan  pengadilan membongkar uang tersebut hanya sah  dimiliki Gayus sebesar Rp  395 juta saja. Sisanya , Rp 24,65 M,dianggap  uang siluman yang  dititipkan tokoh misterius Andi Kosasih. Namun  sungguh aneh Gayus  Tambunan tidak dicurigai dan dibuktikan Tindak  Penggelapan Pajak yang  dilakukannya, malah ia dibebaskan dengan hukuman  enam bulan penjara  dengan percobaan satu tahun. Artinya Gayus  dibebaskan.
Sementara Brigjen Raja Erisman Sebagai Direktur  Ekonomi Bareskrim,  dicurigai Susno terlibat. Pasalnya ia membuat surat  pencabutan blokir  uang Rp 24,65 M itu pada 26 Nopember 2009, saat Susno  sudah dicopot  jabatannya sebagai Kabareskrim dua hari sebelumnya, 24  Nopember 2009.  Masa transisi jabatan ini dipakai untuk melepas blokir  uang haram  itu,”Jadi jendral ini harus ditangkap Kapolri malam ini, dan  segera  diborgol dan dijebloskan ke penjara,: kata Susno berapi-api. Di  tempat  terpisah, Brigjen Raja Erisman, membantah dirinya bersalah.  Katanya,  saat ia membuat surat penghapusan blokir simpanan uang Gayus  Tambunan  itu, Kabareskrimnya masih dijabat Susno, karena serah terima  jabatannya  baru berlangsung 30 Nopember 2009. Bantahan ini pun  disanggah Susno,  bahwa masa transisi seperti itu, jabatan Kabareskrim  menjadi  tanggungjawab Wakabareskrim. Saat transisi itu Susno mengaku  tidak lagi  ngantor dan justru pulang kampung ke Pagar Alam Sumatera  Selatan.
Hari-hari ini masyarakat luas menyaksikan melalui  layar televisi dan  pemberitaan lainnya, antar Jendral Polri, kini  saling mengecam dan  mengutuk.Jaksa pun yang terlibat dan terkait kasus  ini juga ikut  nimbrung saling hantam satu sama lain. Semua yang  terlibat justru aparat  penegak hukum negeri ini. Di tengah hedonisme  yang merajalela, korupsi  yang omong-kosong diberantas, semua peristiwa  yang menghentak ini  terjadi. Susno Duadji, dicatat khalayak sejak kasus  Cicak-Buaya. Susno  mencuat namanya dan dianggap tokoh yang dikorbankan  oleh situasi yang  tidak mendukungnya. Kini Susno merasa dibuang secara  tidak adil.  Ironisnya, institusinya sendiri ikut menenggelamkan  kariernya. Sebagai  Kabareskrim, sebagai Jendral Bintang Tiga, jabatan  puncak Polri (sebagai  Kapolri) mungkin sudah terbayang di depan mata.  Tiba-tiba ia  dilengserkan.
Buat masyarakat luas, image atau  citra Polri belumlah bergeser terlalu  jauh dari citra negatif. Ungkapan  “Prit Jigo” yang terkenal itu kini  masih terjadi di jalan-jalan  seluruh negeri. Ungkapan ini pun belum  hilang,”Jika seeorang kehilangan  seekor kerbau, ia akan kehilangan  seekor kerbau lagi jika ia melapor  ke kantor polisi. Sungguh menyakitkan  citra Polri hingga saat ini.  Walau demikian, kini rakyat mengelu-elukan  Jendral Susno Duadji, untuk  membabat kejahatan itu siapapun pelakunya.  Tampaknya Susno akan terus  “Bernyanyi” dan akan terus memakan korban  tanpa kecuali. (HM.Aru Syeif  Assadullah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar