AKIDAH RUHIYAH DAN AKIDAH SIYASIYAH
(Diambil dari kitab Hadits As Siyam)
Akidah ruhiah adalah dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan-urusan keakheratan. Akidah siyasiyah adalah dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan-urusan keduniaan. Setiap pemikiran yang dipergunakan sebagai landasan yang paling dasar bagi pemikiran-pemikiran berikutnya dianggap sebagai akidah. Dari pemikiran tersebut dapat digali pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum lain. Bila pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tersebut berkaitan dengan masalah-masalah akherat semisal kiamat, pahala, siksa, juga ibadah; atau berkaitan dengan pemeliharaan persoalan-persoalan tersebut, yaitu masalah akherat, seperti peringatan, petunjuk, dan ancaman dengan (adanya) adzab Allah serta rangsangan untuk mendapatkan sebesar-besarnya pahala Allah. Maka akidah ini merupakan akidah ruhiyah.
Bila pemikiran dan hukum-hukum tersebut berkaitan dengan persoalan dunia seperti takdir, pembebanan hukum, kebaikan, keburukan, perdagangan, sewa-menyewa, perkawinan, corporation (syirkah), warisan, atau yang masih berkaitan dengan pemeliharaan persoalan tersebut, seperti mengangkat pemimpin jama'ah, ketaatan kepada pemimpin serta mengoreksinya, seperti juga sanksi-sanksi hukum dan jihad, maka akidah seperti ini adalah aqidah siyasiyah.
  Nasrani adalah  aqidah ruhiyah semata karena sesungguhnya pemikiran, dan hukum-hukum  yang digali dari akidahnya berkaitan dengan persoalan keakheratan.  Begitu juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan  persoalan ini, yaitu masalah keakhiratan, serta yang lahir dari akidah  Nasrani tersebut juga berkait dengan persoalan akherat semata. Sedangkan  Kapitalisme adalah akidah siyasiyah semata karena pemikiran dan  hukum-hukum yang lahir dari akidah ini, berkaitan dengan persoalan dunia  saja, seperti kebebasan (Liberalisme) dan azas manfaat  (Utilitarianisme). Begitu juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan  pemeliharaan persoalan keduniaan tersebut dan yang lahir dari akidah  Kapitalis tersebut, berkaitan dengan urusan dunia seperti demokrasi dan  peperangan. Adapun Sosialisme,  yang antara lain berupa Komunisme semata-mata merupakan akidah siyasiyah  karena pemikiran-pemikiran serta produk hukum-hukum yang lahir dari  akidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan keduniaan seperti  pembatasan dan pelarangan kepemilikan. Demikian juga pemikiran dan  hukum-hukunm yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan ini, yaitu  persoalan dunia dan yang lahir dari akidah Sosialis, berkaitan dengan  urusan dunia saja, seperti membatasi demokratisasi di kelas buruh dan  keditaktoran proletariat.
Sedangkan akidah Islam adalah akidah siyasiyah sekaligus ruhiyah. Karena ia sanggup melahirkan pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan akhirat juga pemikiran dan hukum-hukum yang berkait dengan masalah keduniaan. Juga, pemikiran dan hukum-hukum yang berkait dengan pemikiran urusan tersebut, dan terlahir dari akidah Islam di antaranya berkaitan dengan urusan dunia.
  Akidah ruhiyah  tidak bisa membentuk pandang hidup, way of life, karena aqidah  ruhiyah berkait dengan masalah sebelum kehidupan dan setelah kehidupan.  Akidah ini tidak memiliki relevansi dengan kehidupan dunia. Karena  itu, akidah siyasiyah manapun bisa diberlakukan pada akidah ruhiyah  tersebut, tanpa membahayakan (eksistensinya). Dan amat mudah menerapkan  akidah siyasiyah apapun pada akidah ruhiyah tersebut, bahkan tanpa  perlawanan sekecil apa pun. Maka apa yang kini disebut dengan nama  idiologi sebenarnya tidak terdapat dalam akidah ruhiyah. Adapun akidah  siyasiyah bisa membentuk pandangan hidup dalam kehidupan. Karena ia  sendiri merupakan pemikiran tertentu tentang kehidupan dunia. Sedangkan  pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari akidah tersebut adalah  pemikiran dan hukum-hukum tertentu (yang tidak terbatas) berkaitan  dengan keduniaan semata.\ Akidah siyasiyah  membentuk gambaran kehidupan yang khas. Gambaran akidah tentang dunia  tersebut sesuai dengan ide dasar akidah itu. Dari sini, jelaslah bahwa  tidak mudah menerapkan suatu akidah siyasiyah terhadap sebuah jama'ah  yang sudah menggemban akidah siyasiyah dengan akidah siyasiyah yang,  kecuali dengan tangan besi dan peperangan. Atau setelah mereka telah  menyadari kebobrokan akidah siyahsiyah mereka. Maka, mereka akan akan  mengambil aqidah siyasiyah yang kuat, baik, dan jelas tersebut sebagai  akidah siyasiyah mereka. Karena itu, negara-negara Barat amat mudah  menjajah Kongo namun sulit menjajah Aljazair, kecuali setelah  menggunakan tangan besi dan peperangan. Pandangan hidup  atau apa yang kemudian disebut sebagai idielogi, yang diajarkan akidah  Kapitalis adalah kemanfaatan (Utilitarianisme). Metode operasional  (untuk merealisasikan pandangan kemanfaatannya) adalah liberalisasi  secara umum, yaitu kebebasan akidah, kebebasan kepemilikan, kebebasan  individu, dan kebebasan pendapat. Akidah Kapitalis tersebut membentuk  (pandangan) hidup dengan asas manfaat. Untuk meraih kemanfaatan ini  manusia harus dengan memiliki kebebasan. Sedangkan pandangan  hidup yang diajarkan akidah Sosialis adalah dialektika yaitu perubahan  dari suatu kondisi ke dalam kondisi lain yang lebih baik dalam bentuk  yang pasti (these-anti these-sinthese). Metode operasional untuk  merealisasikan pandangan dialetikanya adalah adanya anti these, yaitu  kanter frontal (thesa tandingan). Maka akidah Sosialis menggambarkan  kehidupan sebagai terus bergerak (tidak pernah berhenti, atau nisbi dan  bukan mutlak) yaitu perubahan menuju suatu kondisi lain yang secara  pasti lebih baik. Untuk melahirkan dialektika tersebut, atau perubahan  menuju suatu kondisi yang lebih laik harus ada keberanian melakukan  kanter-kanter, jika memang telah ada. Bila belum ada, maka harus  diwujudkan. Adapun pandangan  hidup yang diajarkan akidah Islam adalah halal dan haram. Dan metode  operasional untuk merealisaskan pandangan halal-haram tersebut dengan  membangun keterikatan terhadap hukum syara'. Maka  pandangan tersebut selalu memandang kehidupan dengan standar halal dan  haram. Apa saja yang halal baik, persoalan tersebut wajib, mandub  (sunnah) maupun mubah, maka akan diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang  makruh akan diambil dengan rasa khawatir. Sedangkan yang haram, tidak  akan diambil sama sekali. Ketika  Barat melancarkan perang kebudayaan (ghazwus Tsaqafi) maka bertujuan  mengubah pandangan hidup Islam, paling tidak menggoncangnya. Di antara  senjata mereka adalah menciptakan keragu-raguan dalam beberapa akidah  Islam, seperti serangan Barat terhadap persoalan qadar, kenabian  Muhammad, serta penghormatan kaum muslimin kepada para shahabat beliau  saw.. Senjata  Barat yang lain adalah menghilangkan kepercayaan kaum muslim terhadap  kelayakan hukum-hukum syara' untuk menyelesaikan permasalahan kekinian  sebagaimana serangan Barat terhadap hukum-hukum jihad bahwa Islam  disebarkan dengan perang dan kekerasan. Demikian pula terhadap  poligami, thalak, dan sebagainya. Juga  termasuk senjata Barat adalah serangan Barat terhadap penerapan hukum  syara'. Mereka mengambil pendapat sebagian ahli fiqih sebagai alat untuk  menyerang. Apa yang dinyatakan oleh sebagaian ahli Fiqih, berupa  mashalih mursalah, pemeliharaan kemaslahatan, pemberlakuan tradisi  sebagai sumber hukum serta isu perubahan hukum lantaran perubahan zaman  telah dijadikan oleh Barat sebagai alat untuk menjadikan asas manfaat  sebagai standar perbuatan, yang bukan lagi hukum syara'. Hasil dari  semuanya itu, adalah melemahnya pengambilan halal dan haram sebagai  standar perbuatan yang kemudian kelemahan tersebut mulai meluas.  Pertama-pertama kemanfaatan dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum  dan bukannya dalil. Tatkala Barat menemukan adanya pendapat sebagian  ulama', yaitu dimana saja ada kemaslahatan pasti di sana ada hukum  Allah, mereka menjadikannya sebagai alat untuk menguatkan pandangan  kemanfaatan tersebut menjadi standar hukum syara'. Kemudian  berangsur-angsur pandangan kemanfaatan tersebut menjadi standar  kehidupan. Tatkala  Barat menguasai negari-negeri Islam lalu mencengkramkan kekuasaannya  ke wilayah-wilayah Islam tersebut, maka Barat mulai meniupkan akidah  mereka yaitu pemisahan agama dari negara (Sekularisme) dan menanamkan  asas manfaat yang mereka ciptakan. Sehingga mampu menggilas pandangan  hidup Islam pada sebagian besar umat manusia. Lalu menyebarlah ke  hampir seluruh negeri-negeri Islam. Yaitu menjadikan kemanfaatan sebagai  standar kehidupan. Sekalipun masih ada sisa-sisa dijadikannya halal dan  haram sebagai standar kehidupan. Kalau  kita perhatikan, akidah Islam saat ini belum kembali dimiliki kaum  muslimin sebagai akidah siyasiyah. Meskipun tetap dimiliki  sebagai akidah ruhiyah. Pandangan hidup yang dibentuk oleh aqidah  tersebut tidak pernah diwujudkan dalam realitas kehidupan, sekalipun  masih ada pada individu-individu muslim. Sebab membuminya  penyakit tersebut ada pada dua hal berikut ini: Pertama, adanya  kerusakan pada asas pemahamannya tentang kehidupan, yaitu akidah  siyasiyah. Kedua, adanya kerusakan pada pandangan hidupnya yang dibentuk  oleh akidah siyasiyah tersebut, yaitu setelah pandangan hidup  halal-haram berubah menjadi pandangan kemanfaatan. Cara  penyelesaiannya harus dimulai dengan akidah, yaitu dengan menjelaskan  bahwa Islam adalah akidah siyasiyah, kemudian hal itu ditanamkan secara  membekas. Tentang aspek ruhiyah yang terdapat pada akidah Islam sudah  diketahui oleh seluruh umat Islam. Begitu juga harus dengan mengaitkan  aqidah tersebut dengan pemikiran-pemikiran tentang keduniaan, juga  pemikiran-pemikiran yang berkait dengan pemeliharaan persoalan dunia.  Harus mengaitkan keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada Al-Qur'an  dan makna iman kepada Kitab, Al Qur'an. Juga mengaitkan keimanan pada  risalah yang dibawa Nabi dan kenabian beliau dengan sunnah dan makna  iman kepada sunnah. Setelah itu, beralih (untuk merubah) pandangan  hidup yang dibangun di atas akidah tersebut, yaitu beralih kepada halal  dan haram sebagai standar kehidupan. Sebenarnya pandangan kehidupan  dalam kaca mata Islam adalah halal dan haram, bukan kemanfaatan, bukan  pula dialektika ataupun apa yang disebut sebagai pandangan perkembangan. Akidah  sebenarnya berarti pembenaran yang pasti. Pembenaran yang tidak pasti  bukanlah akidah. Pembenaran pasti tersebut menuntut keharusan untuk  tidak menerima apa yang tidak diyakini. Artinya, bila ada yang  menyatakan ini boleh dan yang itu juga boleh, maka ini bukan akidah  karena hal ini bukan pembenaran yang pasti, melainkan hanya pembenaran  saja. Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah berarti pembenaran  yang pasti bahwa Al-Qur'an satu-satunya yang cocok, karena Al-Qur'an  adalah wahyu dari Allah. Bila, ada yang menyatakan ini benar dan yang  lain juga benar, maka itu bukan pembenaran yang pasti melainkan  pembenaran saja. Keyakinan bahwa bila hadits tersebut sahih adalah  satu-satunya yang cocok sebab ia merupakan wahyu dari Allah. Maka,  pernyataan bahwa hadits tersebut cocok, sedangkan yang lain juga cocok  bukan merupakan pembenaran yang pasti, melainkan hanya pembenaran  semata. Maka akidah ini menentukan adanya kepastian dalam pembenaran.  Bila kepastianya telah pupus, maka sifat keyakinanya pun telah hilang  dari akidah tersebut. Pandangan  hidup sebenarnya amat bergantung pada akidahnya. Apabila hukum syara'  dinyatakan ada karena untuk kemanfaatan tertentu, maka berarti disana  ada kerusakan dalam mengaitkan pandangan hidupnya dengan akidahnya.  Maka, kerusakan ini harus dibenahi bahwa hukum syara' dalilnya adalah  syara' yaitu wahyu yang disampaikan dari Allah. Dan bukan kemanfaatan.  Bila dinyatakan bahwa hukum syara' tersebut tidak cocok untuk masa  sekarang tetapi hanya cocok untuk masa dulu sedang yang cocok untuk saat  ini adalah kemanfaatan atau perundang-undangan modern, maka di sana  terdapat kerusakan dalam akidah serta dalam mengaitkan pandangan hidup  dengan akidahnya. Kerusakan tersebut harus dibenahi. Keyakinan kepada  adanya Allah serta kenabian Muhammad tersebut bisa menolak hal-hal  tersebut. Seruan-seruan di dalam Al-Qur'an dan hadist adalah untuk  manusia di sepanjang masa. Setelah menerima, baru beralih pada  pembenahan hubungan (antara akidah dan pandangan hidupnya).






tingkat atas (para tokoh Nasional)  sampai  rakyat yang ada di akar rumput.