Mendidik Anak Menjadi Mujahid Islam yang Tangguh
   |                           |         0 comments          
 Ats Tsaqofah  Ketika  berita tentang tentara Salibis yang telah bersiap untuk  meluluhlantakkan Islam sampai kepadanya, Abu Qudamah ASy-Syami bergerak  cepat menuju mimbar masjid. Dalam pidato yang emosional dan bertenaga,  Abu Qudamah membakar semangat masyarakat muslim untuk mempertahankan  tanah air mereka, dengan jihad fi sabilillah. Tak lama setelah dia  meninggalkan masjid, menuruni lorong sempit dan gelap, tiba-tiba seorang  wanita menghentikan langkahnya dan berkata, “Assalamu’alaikum wa  rahmatullah!” Abu Qudamah berhenti, dan tidak menjawabnya.
Wanita itu mengulangi  lagi salamnya, seraya menambahkan, “Hal demikian bukanlah tindakan yang  seharusnya dilakukan orang shalih.” Lalu wanita itu berjalan selangkah  mendekati bayangan Abu Qudamah. “Aku mendengar engkau di masjid  memotivasi orang-orang beriman untuk pergi berjihad, dan yang aku punya  hanyalah ini,” tuturnya seraya menyeragkan dua buah kuncir yang dipotong  dari rambutnya. Wanita itu meneruskan, “Ini bisa digunakan sebagai tali  kendali kuda. Semoga Allah menetapkan diri sebagai salah seorang yang  pergi berjihad.
Pada  hari berikutnya ketika penduduk perkampungan muslim telah bersiaga  untuk berkonfrontasi dengan laskar Kristen, tiba-tiba seorang anak kecil  berlari ke kerumunan dan berdiri di hadapan kuda yang ditunggangi Abu  Qudamah. “Demi Allah, aku memohon kepada engkau agar mengizinkanku untuk  bergabung ke dalam pasukan,” terang anak kecil itu. Tak ayal, beberapa  mujahid yang lebih tua menertawakan anak tersebut. “Nanti kuda akan  menginjak-injak engkau,” ejek yang lain.
Akan  tetapi Abu Qudamah menatap dalam-dalam kedua matanya, lalu bocah kecil  itu berkata lagi, “Demi Allah, izinkan aku untuk bergabung.” Abu Qudamah  menimpali, “Tapi dengan satu syarat, jika engkau terbunuh, maka engkau  akan membawaku ke surga bersama orang-orang yang engkau masukkan ke  dalam syafaat (syahid)mu.” Anak itu lantas tersenyum sembari berucap,  “Itu adalah janji.”
Tatkala  dua pasukan bertemu dan tensi pertempuran semakin meninggi, anak kecil  yang dibonceng di belakang Abu Qudamah itu meminta, “Demi Allah aku  meminta kepadamu untuk memberiku tiga anak panah!” Abu Qudamah menjawab,  “Engkau akan menyia-nyiakannya.” Anak itu mengulangi lagi, “Demi Allah,  aku meminta kepadamu untuk memberiku anak panah.”
Lalu  Abu Qudamah pun memberinya tiga anak panah, lantas anak itu mulai  membidik. “Bismillah,” ucapnya. Kemudian anak panah pertama itu melesat  dan membunuh seorang tentara Romawi. “Bismillah,” ucapnya kedua kali.  Lalu anak panah kedua melesat dan menewaskan seorang tentara Romawi  lagi. “Bismillah,” ucapnya lagi. Kemudian anak panah terakhir itu pun  menyungkurkan seorang tentara Romawi lainnya.
Tak  lama setelah itu, sebuah anak panah melesat menembus dada anak kecil  itu, membuatnya jatuh terpelanting dari kuda. Sontak Abu Qudamah pun  loncat dari kudanya dan mendekati anak itu, lalu mengingatkannya sebelum  menghembuskan nafas terakhirnya, “Jangan melupakan janji!” kemudian  anak itu meraih sakunya, dan mengeluarkan sebuah kantong seraya berujar,  “Tolong kembalikan ini kepada ibuku.” “Siapa ibumu?” tanya Abu Qudamah.  Anak itu berkata dengan terengah-engah, “Wanita yang kemarin memberimu  dua buah kuncirnya.”
Demikian kisah teladan mujahid Islam yang dikisahkan  Ibnul Jauzi dalam Shifat Ash-Shafwah.  Kisah wanita yang memotong kuncirnya tersebut dikomentari Ibnul Jauzi  sbb: “Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena dia tidak  tahu bahwa perbuatannya itu –yakni memotong kuncirnya– terlarang,  karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja.” (Shifat Ash-Shafwah, 1/459)
Renungkanlah  wanita tersebut; bagaimana dia menggapai tingkatan ketakwaan maksimal,  yang mana dia rela mengorbankan rambutnya, ketika hari ini banyak wanita  memperindah rambut mereka untuk meniru orang-orang kafir. Dan dia juga  pasrah mengorbankan anaknya, ketika dewasa ini para wanita justru  sanggup mati asalkan anak-anak mereka bersama mereka. Ya, wanita dalam  kisah di atas menghabiskan hidupnya dalam ketaatan kepada Allah, dan  ketika ujian itu datang, dia dengan mudahnya melewatinya. Bukan hanya  dirinya yang sanggup melewati ujian tersebut. Anak lelaki yang telah  didiknya pun bersinar dengan kemilau keimanan seperti ibunya.Sejarah  Islam diwarnai dengan banyak wanita beriman yang sukses mencetak  pribadi-pribadi tangguh dan para pembela Islam. Mereka patut ditiru,  karena mereka adalah teladan sempurna. Kita mungkin pernah mendengar  kisah tentang seorang pemuda dengan seorang raja kafir. Yaitu ketika  seluruh penduduk desa berbondong-bondong memeluk Islam dikarenakan  syahidnya pemuda tersebut, maka raja memerintahkan supaya di setiap  jalan digali parit dan dinyalakan api. Lalu setiap penduduk ditanya  tentang agamanya, jika dia telap setia kepada agama raja, maka  dibiarkan. Akan tetapi jika dia tetap beragam dengan agama si pemuda  (percaya kepada Allah), maka akan dimasukkan ke dalam parit api itu.
Maka  orang berjejal-jejal saling dorong untuk masuk ke dalam parit api itu,  disebabkan keyakinan mutlak mereka terhadap akidah sang pemuda yang  syahid. Sehingga tiba giliran seorang wanita menggendong bayinya yang  masih menyusu, ketika bayinya diangkat oleh pengikut-pengikut raja untuk  dimasukkan ke dalam parit api itu, wanita itu hampir menuruti mereka  untuk murtad, karena merasa kasihan kepada anaknya yang masih bayi.  Tiba-tiba bayi itu berkata dengan suara lantang, “Bersabarlah wahai  ibuku, karena engkau sedang mempertahankan yang benar.” Akhirnya, wanita  mukminah itu masuk ke dalam parit api bersama bayi yang digendongnya.
Mengenai hal  ini, Allah berfirman, “Dan  mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena  orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha  Terpuji. Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha  Menyaksikan segala sesuatu.” (Al-Buruj 8-9).
Dan  salah satu sosok mukminah yang sudah tak asing lagi adalah Al-Khansa  yang dikenal sebagai ibunda para syahid. Dia menikah dengan Rawahah bin  Abdul Aziz As-Sulami. Dari pernikahan itu dia mendapatkan empat orang  anak lelaki. Dan melalui pembinaan dan pendidikan tangan-tangannya,  keempat anak lelakinya ini tampil menjadi pahlawan-pahlawan Islam yang  terkenal. Hal itu dikarenakan dorongannya terhadap keempat anak  lelakinya yang telah gugur syahid di medan Al-Qadisiyah.
Sebelum peperangan dimulai, terjadilah perdebatan  sengit di rumah Al-Khansa. Di 
antara  keempat putranya telah terjadi perebutan kesempatan mengenai siapakah  yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus  tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling tunjuk  menunjuk kepada yang lainnya untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin  turut berjuang melawan musuh fi sabilillah.
antara  keempat putranya telah terjadi perebutan kesempatan mengenai siapakah  yang akan ikut berperang melawan tentara Persia, dan siapakah yang harus  tinggal di rumah bersama ibunda mereka. Keempatnya saling tunjuk  menunjuk kepada yang lainnya untuk tinggal di rumah. Masing-masing ingin  turut berjuang melawan musuh fi sabilillah.Rupanya,  pertengkaran mereka itu telah terdengar oleh ibunda mereka, Al-Khansa.  Maka Al-Khansa mengumpulkan keempat anaknya dan berkata:
“Wahai  anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan.  Kalian telah berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah, yang tiada  Tuhan selain Dia, sesungguhnya kalian ini putra-putra dari seorang  lelaki dan dari seorang perempuan yang sama. Tidak pantas bagiku untuk  mengkhianati bapakmu, atau membuat malu pamanmu, atau mencoreng arang di  kening keluargamu. 
Jika  kalian telah melihat perang, singsingkanlah lengan baju dan  berangkatlah, majulah paling depan niscaya kalian akan mendapatkan  pahala di akhirat. Negeri keabadian. 
Wahai  anakku, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu  Rasul Allah. Inilah  kebenaran sejati, maka untuk itu berperanglah dan  demi itu pula bertempurlah sampai mati. 
Wahai anakku, carilah maut niscaya dianugrahi hidup.” 
Pemuda-pemuda  itu pun keluar menuju medan perang. Mereka berjuang mati-matian melawan  musuh, sehingga banyak musuh yang terbunuh di tangan mereka. Akhirnya  nyawa mereka sendirilah yang tercabut dari tubuh-tubuh mereka. Ketika  ibunda mereka, Al-Khansa, mendengar kematian anak-anaknya dan kesyahidan  semuanya, sedikit pun dia tidak merasa sedih dan kaget. Bahkan ia  berkata, “Alhamdulillah yang telah memuliakanku dengan syahidnya  putra-putraku. Semoga Allah segera memanggilku dan berkenan  mempertemukan aku dengan putra-putraku dalam naungan Rahmat-Nya yang  kokoh di surgaNya yang luas.”
Inilah mengapa Al-Khansha  dijuluki ibunda para syahid (ummu syuhada).  Namun bukan gelar sebagai Ummu Syuhada ini yang dia cari, melainkan  keridhaan dari Allah SWT. Diberi gelar ataupun tidak adalah sama  baginya, dia akan tetap memotivasi anaknya untuk tetap tegar di medan  perang, dan rela melepas mereka semua pergi menuju kampung abadi dengan  gelar sebagai syuhada.
MENCETAK PARA MUJAHID TANGGUH
Seandainya  semua ibu dewasa ini memiliki orientasi hidup dan prinsip sebagaimana  para ibunda dalam kisah di atas, maka dunia Islam akan melihat para  pahlawan dan pejuang yang siap memperjuangkan Islam.
Namun, pada zaman  ini, peran ibu seolah tergantikan oleh para pembantu, baby sitter,  atau dititipkan di tempat penampungan anak (day care).  Betapa banyak ibu yang lebih fokus dan ambisius pada karier mereka  sehingga perhatian dan kasih sayang pada anak pun berkurang bahkan  hilang. Tidak jarang pula dijumpai banyak para ibu yang memiliki banyak  waktu bersama anak namun merasa bingung apa yang harus dilakukan untuk  mengasah potensi buah hatinya.Dua  kondisi tersebut menunjukkan minimnya pemahaman seorang ibu tentang  perannya dan optimalisasi perannya, yaitu berusaha melahirkan generasi  mulia; generasi para mujahid. Tentunya, menjadi ibu pencetak mujahid  meniscayakan proses pembelajaran, di antaranya adalah:
1.  Bagaimana dia bisa memberikan pendidikan dan pengajaran terbaik pada  anak-anaknya, meliputi pemahaman akidah yang benar, syariat yang  komprehensif, dan akhlak terpuji.
2. Bagaimana agar anak-anaknya selalu memberikan respon positif  kepada ibu mereka.
3. Bagaimana menampilkan pesona sejati ibu  shalihah dan anak-anak yang shaleh serta shalihah?
4. Bagaimana  ibu dan anak-anaknya dicintai Allah dan Rasul-Nya
5.  Bagaimana ibu menemukan rahasia metodologi dan epistemologi dalam  mencetak generasi mujahid, berdasarkan manhaj ahlussunnah wal jama’ah  dan paradigma tha`ifah manshurah (kelompok yang selamat).
6.  Terakhir, bagaimana menghadirkan suasana ‘perjuangan setiap hari' di  rumah. Dalam artian, anak-anak harus diberi pemahaman bahwa antara  kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung, dan kebenaran harus bisa  melenyapkan kebatilan, dalam setiap ranah kehidupan.
Guna  merealisasikan hal-hal di atas, syariat Islam kaffah (integral)  memberikan peranti-peranti yang dibutuhkan oleh ibu untuk belajar  menjadi pencetak generasi mujahid. Pertama, ilmu Allah dengan  Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kedua,  teladan yang baik bagi para manusia, khususnya muslim dan muslimah  dalam mendidik generasi mujahid, yakni Rasulullah, para shahabat dan  shahabiyah, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in, serta para ulama Salafus-Shaleh  lainnya. Sementara hal-hal teknisnya bisa diketahui dan dipelajari dari  berbagai majlis ilmu dan buku-buku keislaman yang bermanhaj lurus.
Demikianlah, semoga dalam waktu  dekat kita akan menyaksikan munculnya para mujahid dari para ibunda  seperti Al-Khansha dan lainnya. Sehingga mereka dapat tampil memberangus  kebatilan, kemaksiatan kemusyrikan, hal-hal bid’ah, atau meruntuhkan  hukum thaghut yang berkuasa. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar