Tabiat Permusuhan
وَلاَ تَهِنُوا فِي ابْتِغَآءِ الْقَوْمِ إِن تَكُونُوا تَأْلَمُونَ فَإِنَّهُمْ يَأْلَمُونَ كَمَا تَأْلَمُونَ وَتَرْجُونَ مِنَ اللهِ مَالاَيَرْجُونَ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An Nisa’ [4]: 104)
Hidup adalah ibadah. Begitu Allah menciptakan manusia. Tak ada tugas lain selain melaksanakan apa yang disyare’at Allah melalui lesan para Rasul.
Karena itu, mengiringi detak nafas perjalanan hidup manusia, Allah menciptakan kehidupan disamping Allah menciptakan kematian. Ada hitam, ada putih. Ada siang ada malam. Senang dan sedih, laki-laki dan perempuan serta ada mukmin dan ada kafir. Masing-masing mempunyai tabi’at jalan yang mesti mereka lalui guna mempertegas dan memperjelas keadaan, sifat dan karakternya.
Allah menciptakan orang mukmin dengan berbagai karakter keimanan, ketaqwaan, kebaikan, kejujuran, kesholehan dan lainnya. Begitu pula Allah menjadikan orang kafir dengan berbagai karakter yang jelas sebagai musuh bagi orang yang beriman, melawan kebenaran, membangkang perintah Allah, serta menjadi bala tentara pasukan syetan yang menyeru kepada pintu-pintu jahanam.
Ketegasan dan kejelasan inilah yang Allah tegaskan dalam surat An Nisa’ ayat 101.
إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّ مُبِينًا
“Sesungguhnya orang-orang kafir (bagi kalian) adalah musuh yang nyata”.
Sebuah tabi’at yang mesti dipahami bahwa manusia mempunyai musuh, yaitu syetan. Karena itu Allah menyebutkan, “Sesungguhnya syetan adalah musuh bagi kalian, maka jadikan ia sebagai musuh”.
Syetan dari jenis jin yang berjalan mengalir bersama aliran darah manusia. Menimbulkan was-was, membisiki nafsu dan mendorongnya untuk bermaksiat kepada Allah. Ataupun syetan dalam bentuk manusia. Ia mempunyai anggota badan sebagaimana kita. Jasadnya sama persis seperti manusia yang lain, namun tabi’at, sifat dan karakternya adalah syetan, ‘Sesungguhnya syetan menyuruh kalian untuk berbuat suu’ (buruk), fahsya’ (keji), dan mengatakan sesuatu tentang Allah yang mereka sendiri tidak mengetahuinya”.
Begitulah ketegasan yang diberikan oleh Allah antara orang mukmin dan orang kafir serta sifat permusuhan yang menjadi tabiat jalan yang mereka tempuh.
Di sisi lain, keberadaan orang kafir sebagai ujian keimanan bagi orang yang berimaan agar semakin jelas, tegar dan istiqomah dalam keimanannya.
Allah berfirman yang artinya, “Demikian sekiranya Allah menghendaki tentu Allah pasti menghancurkan mereka, tetapi Dia hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain” (Muhammad; 4). “Dan kami pasti menguji kalian sehingga Kami mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kalian dan orang-orang yang bersabar. Dan agar Kami menyatakan hal ikhwal kalian” (Muhammad; 31).
Bagaimana jika tabi’at permusuhan ini samar? Atau bahkan hilang tanpa bekas? Hilangnya tabi’at permusuhan ini, akan menghancurkan sendi-sendi keimanan seseorang. Hilangnya kemuliaan, izzah dan jati diri seseorang.
Tabi’at permusuhan antara mukmin dan kafir hari ini menjadi samar. Identitas permusuhan –walau orang-orang kafir telah menampakkan dengan nyata- belum cukup untuk menyadarkan kepada umat Islam akan hakekat permusuhan.
“Kami tidak pernah mempunyai musuh. Semua adalah saudara. Kita bersatu”. Begitu bahasa yang sering kita dengar yang menghilangkan batas-batas dan tabi’at permusuhan. Dalam waktu yang sama, nilai-nilai keimanan dikikis, ketaqwaan dihanguskan. Pintu-pintu neraka di buka. Sementara mereka berhadapan dengan moncong-moncong syetan.
Islam sebenarnya indah. Mengajarkan akan hakekat pertemanan dan permusuhan. Cinta dan benci. Kepada siapa permusuhan itu diwujudkan dan kepada siapa pula kecintaan itu diberikan.
Jalan ini pula yang ditempuh para Nabi dan Rasul. Saat mereka harus mewujudkan permusuhan, memperjelas kebencian walau bersamaan itu mereka menerima berbagai celaan, cacian, permusuhan dan bahkan pengorbanan. Mereka harus korbankan apa yang mesti mereka korbankan sebagai konsekuensi dari tabi’at permusuhan ini.
Menghilangkan tabi’at permusuhan, sama menghilangkan esensi pokok keimanan. Membolak-balikkan kawan dan lawan. Kawan bisa menjadi lawan atau sebaliknya saat kejelasan permusuhan dan kebencian hilang dalam diri kaum muslimin.
Karena itulah, Allah memberikan jaminan terhadap apa yang kita korbanan sebagai konsekuensi dari tabiat permusuhan ini. Tak ada yang sia-sia, karena sesungguhnya semua yang pernah dilakukan seorang mukmin akan ada nilainya. Kalau mereka tidak mendapat nilai di dunia, ia akan mendapatkan nilai di akherat, yang orang kafir tidak mendapatkannya. ‘Janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka sesungguhnya merekapun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu menderitanya, sedang kamu mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana’.
Mengapa harus sedih, lemah dan ragu? Jalan telah ditetapkan. Perniagaan telah dijalankan. Tak ada keberuntungan yang lebih besar kecuali berniaga dengan Allah. Tak ada yang sia-sia. Karena bagi seorang mukmin apapun yang mereka lakukan dalam menjalankan syare’at Allah adalah ibadah. (kh).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar