UU PNPS Untuk Kepentingan Semua Agama
Kuasa hukum MUI, Luthfi Hakim, menilai lucu pernyataan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1965 produk pemerintahan tirani. ”Bagaimana dengan KUHP, ini kan produk kolonial,” tanya Luthfi.
Hidayatullah.com -- Menurut kuasa hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Luthfi Hakim, pernyataan Saksi ahli dari pihak pemohon penghapusan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, Prof. Dr. J.E. Sahetapy, SH, yang mengatakan UU tersebut adalah produk pemerintahan tirani dan seharusnya sudah dibuang ke keranjang sampah, amatlah gegabah.
Luthfi Hakim yang ditemui Hidayatullah.com di sela-sela sidang judicial review UU PNPS di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (24/2) kemarin, mengatakan jika Sahetapy mempersoalkan undang-undang produk zaman tirani atau orde lama untuk seharusnya dibuang, maka bagaimana dengan produk undang-undang yang dihasilkan di zaman kolonial penjajah. "Apakah kita nggak punya KUHP. Mungkin karena sudah sepuh saja beliau bilang begitu," kata Luthfi.
Luthfi menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 1965 atau PNPS memang betul produk orde lama. Namun, sambungnya, ketika Soekarno lengser, maka dilakukanlah verifikasi kepada seluruh produk undang-undang yang telah dipakai. Produk undang-undang itu diserahkan ke pemerintah untuk ditetapkan. Ada yang ditetapkan untuk diteruskan, ada pula yang ditetapkan untuk tidak diteruskan. "Sedangkan PNPS adalah termasuk produk undang-undang yang diteruskan pemerintah untuk digunakan karena dianggap urgen," jelas hakim yang juga Ketua Forum Komunikasi Sosial Kemasyarakatan, ini.
Sementara, saksi ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Rahim Yunus, menandaskan bahwa perlindungan ajaran pokok agama oleh negara memiliki urgensitas yang tinggi demi terwujudnya NKRI yang berdaulat.
Pernyataan Rahim tersebut ditambahkan oleh Prof.Dr. Ali Aziz yang juga salah seorang saksi ahli dari pemerintah. Menurut Ali, kunci kesuksesan dan kerukunan beragama sebenarnya terletak pada proporsionalitas pluralisme sosial di masyarakat. "Saya tegaskan, bukan pluralisme teologis yang saya maksudkan. Tapi pluralisme sosial yang harus kita jaga sebagai kunci kerukunan itu," kata Ali.
Menurut Ali, keragaman etnis, agama, budaya, dan suku adalah merupakan sunnatullah. Sehingga dengan terealisasinya pluralisme sosial di masyarakat secara proporsional, kelak akan melahirkan kerukunan antar elemen umat dan bangsa.
Bertalian dengan itu, Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI DR. Adian Husaini, mengatakan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama tidak semata hanya kepentingan dan kebutuhan ummat Islam. Justru dengan adanya UU PNPS tersebut, kata Adian, semua agama akan terlindungi.
"Itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU no 1/PNPS/1965 ini,'' ungkap Adian yang hadir pada sidang MK, Rabu (24/02), sebagai saksi Ahli dari terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dia menegaskan bahwa fungsi penting dari keberadaan UU no 1/PNPS/1965 adalah untuk mencegah terjadinya kekacauan akibat penyalahgunaan atau penodaan agama. [ain/www.hidayatullah.com]
Hidayatullah.com -- Menurut kuasa hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Luthfi Hakim, pernyataan Saksi ahli dari pihak pemohon penghapusan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama, Prof. Dr. J.E. Sahetapy, SH, yang mengatakan UU tersebut adalah produk pemerintahan tirani dan seharusnya sudah dibuang ke keranjang sampah, amatlah gegabah.
Luthfi Hakim yang ditemui Hidayatullah.com di sela-sela sidang judicial review UU PNPS di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (24/2) kemarin, mengatakan jika Sahetapy mempersoalkan undang-undang produk zaman tirani atau orde lama untuk seharusnya dibuang, maka bagaimana dengan produk undang-undang yang dihasilkan di zaman kolonial penjajah. "Apakah kita nggak punya KUHP. Mungkin karena sudah sepuh saja beliau bilang begitu," kata Luthfi.
Luthfi menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 1965 atau PNPS memang betul produk orde lama. Namun, sambungnya, ketika Soekarno lengser, maka dilakukanlah verifikasi kepada seluruh produk undang-undang yang telah dipakai. Produk undang-undang itu diserahkan ke pemerintah untuk ditetapkan. Ada yang ditetapkan untuk diteruskan, ada pula yang ditetapkan untuk tidak diteruskan. "Sedangkan PNPS adalah termasuk produk undang-undang yang diteruskan pemerintah untuk digunakan karena dianggap urgen," jelas hakim yang juga Ketua Forum Komunikasi Sosial Kemasyarakatan, ini.
Sementara, saksi ahli dari Pemerintah Prof. Dr. Rahim Yunus, menandaskan bahwa perlindungan ajaran pokok agama oleh negara memiliki urgensitas yang tinggi demi terwujudnya NKRI yang berdaulat.
Pernyataan Rahim tersebut ditambahkan oleh Prof.Dr. Ali Aziz yang juga salah seorang saksi ahli dari pemerintah. Menurut Ali, kunci kesuksesan dan kerukunan beragama sebenarnya terletak pada proporsionalitas pluralisme sosial di masyarakat. "Saya tegaskan, bukan pluralisme teologis yang saya maksudkan. Tapi pluralisme sosial yang harus kita jaga sebagai kunci kerukunan itu," kata Ali.
Menurut Ali, keragaman etnis, agama, budaya, dan suku adalah merupakan sunnatullah. Sehingga dengan terealisasinya pluralisme sosial di masyarakat secara proporsional, kelak akan melahirkan kerukunan antar elemen umat dan bangsa.
Bertalian dengan itu, Komisi Kerukunan Umat Beragama MUI DR. Adian Husaini, mengatakan UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama tidak semata hanya kepentingan dan kebutuhan ummat Islam. Justru dengan adanya UU PNPS tersebut, kata Adian, semua agama akan terlindungi.
"Itulah sebenarnya tujuan terpenting dari eksistensi UU no 1/PNPS/1965 ini,'' ungkap Adian yang hadir pada sidang MK, Rabu (24/02), sebagai saksi Ahli dari terkait Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Dia menegaskan bahwa fungsi penting dari keberadaan UU no 1/PNPS/1965 adalah untuk mencegah terjadinya kekacauan akibat penyalahgunaan atau penodaan agama. [ain/www.hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar