Pers dan Akhlak Jurnalistik
Oleh: M. Nurkholis Ridwan*
KITA hidup pada era di saat media massa memegang peran penting dalam proses pembentukan kebijakan dan pandangan publik. Sejak lama, pers memang telah ditahbiskan sebagai kekuatan demokrasi keempat. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang berhak mengontrol pers untuk tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan. Siapakah yang dapat menghalangi penggunaan media untuk, misalnya, menghujat atau mengadili pihak tertentu yang tidak disenangi? Hal ini penting untuk dibincangkan, agar publik dapat melakukan pengawasan, sekaligus mengarahkan media, yang sejatinya merupakan lembaga publik, agar sesuai dengan nilai-nilai kebenaran dan kemaslahatan bersama.
Selama ini, mekanisme yang tersedia dalam media massa adalah penggunaan hak jawab. Pihak yang dirugikan dipersilakan menuliskan keberatannya melalui rubrik surat pembaca atau sejenisnya.
Tentu kita dapat memahami bahwa tidak mungkin hak jawab yang halamannya serba terbatas itu dapat menandingi kedahsyatan laporan yang ditulis berlembar-lembar pada edisi sebelumnya, disertai grafis yang memikat, diimbuhi judul menggetarkan yang terdapat di cover. Meski demikian, kondisi ini juga tidak dimaksudkan untuk membatasi para pekerja media untuk melakukan tugas mulianya dalam mendidik publik.
Tapi, para pekerja pers juga tidak boleh semena-mena menurunkan laporan yang diperkirakan merugikan orang lain, dengan alasan: toh itu dapat diselesaikan melalui mekanisme hak jawab.
Jalan yang paling efektif adalah dengan melakukan pengawasan melekat dalam tubuh media itu sendiri. Yang dimaksud di sini adalah, penanggung jawab media, dalam hal ini pemimpin redaksi maupun dewan redaksi sebaiknya menetapkan mekanisme dan alur yang sangat ketat dalam sistem pelaporan berita. Bisa dimulai dari standar berita yang akan dilaporkan.
Pertanyaan-pertanyaan berikut ini harus terjawab: Apakah berita itu menarik, bermanfaat, tidak merugikan kepentingan umum, tidak melanggar hak asasi manusia, tidak mengadili pihak-pihak yang belum dapat disebut bersalah, cukupkah bahan dan kemampuan SDM untuk menulis topik itu, tidak mengundang kontroversi dan kegaduhan yang kontraproduktif bagi mayoritas masyarakat, dan seterusnya.
Gugusan pertanyaan yang sama dapat diterapkan pada angle (sudut pandang) tulisan atau berita. Jika angle sudah tidak obyektif, jangan harapkan laporan yang dihasilkan dapat obyektif dan bermutu.
Walau demikian, kita harus arif pada kenyataan, bahwa para pengelola keredaksian media punya keterbatasan-keterbatasan tertentu ketika harus berhadapan dengan manajemen atau pemilik modal. Di sinilah nurani para jurnalis diuji. Sebab, hakikatnya, di kursi jabatan manapun ia duduk, hakikatnya dia tetap jurnalis yang terikat dengan kode etik. Wabil khusus, harus berpegang pada hati nurani. Jika para penanggung jawab keredaksian menyerah pada tuntutan kepentingan internal, mengabaikan kebenaran dan hati nurani, pada akhirnya publik yang akan menghukum media yang bersangkutan dengan tidak membaca, membeli, mendengar atau menontonnya. Tapi , lagi-lagi hal itu tidak bisa menyelesaikan persoalan, ketika media misalnya, terus melakukan pelanggaran etika jurnalistik dengan mengabaikan aspirasi publik.
Karena itu, sebaiknya, media melakukan komunikasi yang lebih intensif dengan pembacanya. Membuka keran kritik konstruktif dari pembaca, mulai dari yang lembut hingga yang pedas, memperluas seluas-luasnya ruang bagi pembaca untuk berpartisipasi. Jangan sampai dengan alasan bertentangan dengan kebijakan internal atau merusak citra media, surat pembaca yang masuk tidak diterbitkan. Dengan begitu, media dapat dengan cermat mengikuti nurani dan keinginan pembacanya yang pada hakikatnya adalah keinginan pasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan yang diperoleh media: Pertama, sejalan dengan hati nurani publik. Kedua, selaras dengan keinginan pasar. Kue iklan pun bisa lebih mudah didapat.
Akhlak reportase
Dalam proses membangun kesadaran intrinsik media inilah kita perlu memahami etika jurnalistik atau dalam istilah lain, akhlak jurnalistik. Akhlak dalam konteks ini, secara luas dapat diartikan sebagai sekumpulan nilai-nilai positif yang diterima oleh publik secara luas, atau katakanlah mayoritas masyarakat.
Dengan kata lain, sekumpulan prinsip-prinsip moral adiluhung yang dijunjung tinggi oleh masyarakat umum. Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, akhlak Islam atau populer dengan istilah akhlakul karimah (Arab: akhlak yang mulia), semestinya menjadi landasan bagi insan pers. Sebab, pers tidak bisa lepas dari nilai-nilai yang dianut masyarakatnya, tempat ia bertugas melayani, sekaligus menjadi penyambung lidah masyarakat.
Akhlakul karimah ini bisa diterapkan dalam banyak persoalan peliputan maupun pelaporan berita hingga penulisan opini. Sebagai contoh, penulisan tema-tema aliran sesat dapat dilakukan dengan bahasa ajakan untuk kembali ke jalan yang benar, tanpa mengaburkan prinsip-prinsip kebenaran. Jika itu terkait pada kasus penodaan agama, maka penyelesaian secara hukum dapat disarankan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku di negeri ini, sembari menentang upaya-upaya penyelesaian yang mengundang kekerasan. Dengan begitu, media dapat menampilkan dirinya sebagai sebuah institusi publik yang selalu positif dan solutif.
Untuk tema-tema kriminal dan kejahatan misalnya, dapat diterapkan asas praduga tak bersalah, dengan menghindari unsur kecaman, penyematan kata sifat yang menyudutkan, pengarahan opini yang tak berdasarkan pada fakta, dan seterusnya. Sebenarnya, hal ini dapat dihindari dengan mudah, jika kita selalu berpegang pada fakta. Tugas media, pada hakikatnya adalah mencari kebenaran dan melaporkannya, yang dengan demikian berarti media telah membantu melayani masyarakat.
Karenanya, tugas jurnalislah untuk bertanya dan tak pernah bosan bertanya, menggali fakta dari hulu hingga hilir peristiwa. Dan jika terdapat kontradiksi maupun unsur konflik dalam laporan itu, jurnalis tidak berhak menyimpulkan. Biarkan pembaca, pendengar atau penonton yang menarik kesimpulan. Dan jika tidak ada fakta pendukung, jurnalis harus mengabaikan apapun praduga yang berkecamuk kuat dalam benaknya.
Pada akhirnya, sebuah laporan jurnalistik memang tidak bisa menghindari untuk mengarahkan pembaca pada sebuah kesimpulan. Tapi proses itu harus berada di rel fakta-fakta pendukung, primer maupun sekunder, di mana seorang jurnalis harus dengan penuh amanah tidak mengabaikan setiap fakta yang mungkin bertentangan dengan praduga maupun kesimpulan yang ia harapkan.
Tulisan ini semacam kerinduan pada pers yang sehat. Pers yang mewakili publik secara umum. Dalam konteks keumatan, kita butuh pers yang mendidik, mencerdaskan sekaligus membela kepentingan masyarakat muslim secara hanif, adil, obyektif, dan berimbang. Wallahu a’lam.
*)Penulis adalah wartawan dan editor penerbit Pustaka Al-Kautsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar