Untuk Apa Gereja Didirikan?
“Indonesia merupakan ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya,” demikian tujuan misi Kristen. Baca CAP Adian ke-295!
Oleh: Dr. Adian Husaini*
KASUS  penyegelan rumah milik jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di  Ciketing Bekasi, Jawa Barat, akhirnya berbuntut panjang. Jemaat HKBP  tidak terima dengan keputusan pemerintah dan melakukan berbagai aksi  demonstratif, yang akhirnya berujung pada insiden bentrokan jemaat HKBP  dengan warga Muslim Bekasi. Sebagian kalangan kemudian mengangkat dan  membesar-besarkan kasus ini sampai ke dunia internasional, sehingga  memberikan citra negatif terhadap Indonesia.
Citra buruk yang  tampaknya ingin dibentuk adalah bahwa seolah-olah negeri Muslim terbesar  di dunia ini merupakan satu bangsa yang tidak beradab yang tidak  menghargai kebebasan beragama; seolah-olah, kaum Kristen di Indonesia  merupakan kaum yang tertindas. Sejumlah aktivis Kristen di Indonesia  tergolong rajin memanfaatkan momentum kasus-kasus konflik soal pendirian  gereja, menjadi komoditi yang berharga untuk membentuk citra buruk  bangsa Indonesia, khususnya kaum Muslim.
Ujung-ujungnya, muncul  tekanan dari berbagai Negara atau kelompok di luar negeri, agar  Indonesia memberikan ruang kebebasan beragama yang lebih besar kepada  golongan minoritas Kristen.  Pada 12 Februari 2010 lalu, Forum  Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) mengeluarkan data, yang menurut  mereka, dalam tahun 2007 ada 100 buah gereja yang diganggu atau dipaksa  untuk ditutup. Tahun 2008,  ada 40 buah gereja yang mendapat gangguan.  Tahun 2009 sampai Januari 2010, ada 19 buah gereja yang diganggu atau  dibakar di Bekasi, Depok,  Parung, Purwakarta, Cianjur, Tangerang,  Jakarta, Temanggung, dan  Sibuhuan Kabupaten Padang Lawas (Sumatera  Utara). 
Menurut data FFKJ tersebut, selama masa pemerintahan  Presiden Sukarno (1945 - 1966) hanya ada 2 buah gereja yang dibakar.  Pada era pemerintahan Presiden Suharto (1966 - 1998) ada 456 gereja yang  dirusak atau dibakar.  Pada periode 1965-1974, kata FKKJ, "hanya"  46  buah gereja yang dirusak atau dibakar. Sedangkan dari tahun 1975 atau  masa setelah diberlakukannya SKB  2 Menteri tahun 1969 hingga saat  lengsernya Suharto tahun 1998, angka gereja yang dirusak atau dibakar  sebanyak 410 buah.
Jadi, menurut catatan FKKJ  hingga awal tahun  2010, telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan  ditutup. “Jadi kita menemukan angka perusakan gereja untuk masa  reformasi paska Suharto sebanyak 740  buah,” tulis siaran pers FKKJ yang  ditandatangani oleh Theophilus Bela dan Gustav Dupe.
Mungkin  banyak pihak yang tercengang melihat besarnya angka perusakan gereja di  Indonesia. Sangat fantastis. Sayangnya, pihak FKKJ tidak menyajikan  analisis yang komprehensif tentang data tersebut. Benarkah yang dirusak  itu memang gereja? Mengapa hal itu terjadi? Umat Islam bisa saja membuat  data, berapa ribu masjid dan mushola yang dirusak dan digusur oleh  developer Kristen! Juga, mestinya ada analisis, mengapa sudah begitu  banyak gereja yang dirusak, tetapi pertumbuhan gereja di Indonesia juga  sangat fantastis?
Analisis yang komprehensif sangat diperlukan  jika kita ingin menyelesaikan masalah secara mendasar, bukan sekedar  memanfaatkan kasus-kasus untuk tujuan tertentu. Apalagi, dalam siaran  pers FKKJ itu juga disebutkan, seolah-olah biang keladi semua itu adalah  adanya SKB dua menteri tahun 1969 yang mengatur pendirian rumah ibadah.  Pihak Kristen. Khususnya kelomok-kelompok evangelis,  tidak mau  terbuka, bahwa sebenarnya pendirian Gereja bukanlah sekedar persoalan  tempat ibadah belaka, tetapi terkait dengan misi mereka untuk  mengkristenkan Indonesia. Keterbukaan dan dialog ini sangat penting,  sebab kedudukan dan fungsi Gereja bagi kaum Kristen  berbeda dengan  kedudukan dan fungsi masjid bagi umat Islam.
Kaum Muslim  mendirikan masjid karena dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.  Aturan-aturan tentang kemasjidan sangat jelas dalam Kitab Suci umat  Islam dan Sunnah Nabi Muhammad saw. Bagi kaum Muslim, Masjid digunakan  shalat lima waktu dalam sehari. Kaum Muslim juga bisa shalat di masjid  mana saja, selama bukan masjid aliran sesat. Sementara kaum Kristen  tidak bisa sembahyang di Gereja sekte apa saja, karena beda tata cara  ritual. Perbedaan-perbedaan semacam itu seyogyanya dipahami, agar dapat  dicarikan solusi yang komprehensif.
Misi Gereja
Apa sebenarnya misi dan tujuan suatu gereja didirikan?
Tahun 1964, tokoh Kristen  Batak, Dr. Walter  Bonar Sidjabat, menerbitkan buku berjudul Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini (Jakarta:  Badan Penerbit Kristen, 1964).  Melalui bukunya ini, Dr. Sidjabat  menegaskan misi sejati kehadiran Kristen dan Gereja-gereja mereka di  seluruh pelosok Indonesia.
Dalam pengantar bukunya, ia menulis:
“Kita terpanggil untuk mengikrarkan iman kita di daerah-daerah berpenduduk berambut keriting, berombak-ombak dan lurus-lurus, di tengah penduduk berkulit coklat, coklat tua, kuning langsat dan sebagainya. Guna penuaian panggilan inilah gereja-gereja kita berserak-serak di seluruh penjuru Nusantara agar rakyat yang “bhineka tunggal ika”, yang terdiri dari penganut berbagai agama dan ideologi dapat mengenal dan mengikuti Yesus Kristus.” (Kutipan-kutipan dari buku Dr. Sidjabat dalam artikel ini telah disesuaikan dengan EYD).
Mengikuti  pemikiran tokoh Kristen Batak ini, bisa dipahami bahwa kehadiran sebuah  gereja bagi kaum Kristen bukanlah sekedar persoalan “kebebasan  beribadah” atau “kebebasan beragama”. Banyak kalangan Muslim dan mungkin  juga kaum Kristen sendiri yang tidak paham akan eksistensi sebuah  gereja. Bahwa, menurut kaum Kristen, pendirian sebuah gereja bukan  sekedar  pendirian sebuah tempat ibadah, tetapi juga bagian dari sebuah  pekerjaan Misi Kristen; agar masyarakat di sekitarnya “mengenal dan  mengikuti Yesus Kristus”.
Dikatakan dalam buku ini:  “Di atas Gereja terletak tugas pekabaran Injil. Pekabaran Injil adalah  dinamis. Secara dinamis Gereja bertanggung jawab akan pekabaran Injil ke  dalam, kepada orang-orang yang telah menjadi anggota-anggota tubuh  Kristus (“ecclesia”) dan keluar, kepada orang-orang yang sedang  menunggu, mengabaikan, menolak atau tidak acuh terhadap Yesus sebagai  Juruselamat mereka.” (hal. 41).
Sementara itu, bagi  kaum Muslim yang sadar akan keislamannya, persoalan misi Kristen,  bukanlah masalah sepele.  Orang yang berganti agama, keluar dari agama  Islam, dalam pandangan Islam disebut orang yang murtad dan kafir. Amal  perbuatan mereka tidak diterima oleh Allah. (QS 2:217, 24:39).  Al-Quran  juga menegaskan, bahwa Allah SWT sangat murka jika dikatakan Dia  mempunyai anak. (QS 19:88-91). Dan orang-orang yang menyatakan bahwa  Allah adalah salah satu dari tiga oknum, maka orang itu disebut telah  kafir (QS 5:72-75).
Dalam menjalankan misi mereka di dunia Islam,  kaum Kristen sadar benar akan tantangan berat yang datang dari umat  Islam. Sebab, memang, Islam adalah satu-satunya agama yang Kitab Sucinya  (al-Quran) memberikan koreksi secara mendasar terhadap dasar-dasar  teologi Kristen. (QS 4:157).  Karena itulah, dalam bukunya,  Dr.  Sidjabat secara khusus, menguraikan sejarah perkembangan Islam di  Indonesia, yang dinilainya merupakan tantangan berat bagi perkembangan  misi Kristen di Indonesia. Sidjabat mengimbau Kaum Kristen di Indonesia  tidak surut langkah dalam menjalankan misi mereka. Bahkan, kalau perlu  melakukan konfrontasi. Maka, simaklah pesan-pesan penting Sidjabat  kepada kaum Kristen Indonesia berikut ini:
“Saudara-saudara,  kenyataan-kenyataan jang saya telah paparkan ini telah menunjukkan  adanya suatu tantangan jang hebat sekali untuk ummat Kristen. Sudah  pasti bahwa yang dapat  saya rumuskan pada lembaran-lembaran ini hanya  sebagian kecil dari realita Islam di Indonesia. Dalam hubungan ini saya  hendak menunjukkan kepada ummat Kristen bahwa sekarang ini jumlah yang  menunggu-nunggu Injil Kristus Yesus jauh lebih banyak daripada jumlah  jang dihadapi oleh Rasul-rasul pada abad pertama tarich Masehi. Dan  perlu diketengahkan bahwa jumlah tadi tidaklah hanya “jumlah” bilangan  saja, tetapi manusia-manusia yang hidup, yang ingin mengetahui nilainya  dan yang haus akan pengetahuan tentang haluan hidupnya, kemana ummat  Islam Indonesia juga tergolong.
Di Indonesia ini, hal yang saya  utarakan itu dapat dengan terang dilihat dan dihayati. Menurut  pertimbangan secara insani,  penduduk Indonesia masih terus lagi akan  merupakan penduduk yang sebagian besar beragama Islam, sekalipun banyak  yang sudah beralih kepada agama atau aliran lain, antara lain: agama  Buddha, Komunisme, aliran kebatinan yang lepas dari Islam, ateisme dan  lain-lain. Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan  terus menghadapi “challenge” Islam di negara gugusan ini...
Seluruhnya  ini menunjukkan bahwa pertemuan Injil dengan Islam dalam bidang-cakup  yang lebih luas sudah “dimulai”. Saya bilang “dimulai”, bukan dengan  melupakan Pekabaran Injil kepada ummat Islam sejak abad jang ketudjuh,  melainkan karena kalau kita perhatikan dengan seksama maka “konfrontasi”  Injil dan agama-agama di dunia ini dalam bidang-cakup yang  seluas-luasnya, dan dalam hal ini dengan Islam, barulah “dimulai” dewasa  ini secara mendalam. Dan bagi orang-orang yang berkeyakinan atas kuasa  Allah Bapa, Yesus Kristus dan Roch Kudus, setiap konfrontasi seperti ini  akan selalu dipandangnya sebagai undangan untuk turut mengerahkan jiwa  dan raga memenuhi tugas demi kemuliaan Allah.”
Membaca  pemikiran tokoh Kristen Batak seperti ini, kaum Muslim Indonesia tentu  memahami, bahwa sejak awal mula misi dijalankan, Gereja sudah menyiapkan  diri untuk melakukan konfrontasi, khususnya dengan umat Islam. Bahkan,  konfrontasi itu harus dilakukan dengan mengerahkan jiwa dan raga demi  kemuliaan Tuhan.
Dalam konteks semacam inilah, barangkali kita  bisa memahami, mengapa kaum Kristen senantiasa menolak  berbagai  peraturan yang mengatur tatacara pendirian rumah ibadah dan penyebaran  agama, meskipun peraturan itu juga menjerat kaum Muslim di daerah-daerah  minoritas Muslim.
Dalam konteks inilah kita juga memahami  militansi sikap jemaat HKBP Ciketing Bekasi.  Juga, kita paham, mengapa  kaum Kristen Indonesia – dari berbagai sekte dan agama – seperti bersatu  dalam menyikapi kasus HKBP Ciketing  dan berusaha menyeret kasus ini ke  isu “kebebasan beragama” dan “pluralisme”. Meskipun Gereja-gereja terus  tumbuh bak cendawan di musim hujan, senantiasa dicitrakan, kaum Kristen  adalah umat tertindas dan tidak punya kebebasan beragama di negeri  Muslim terbesar ini.
Justru, yang sulit kita pahami adalah  orang-orang yang mengaku beragama Islam tetapi – sadar atau tidak –  telah menempatkan dirinya menjadi “jubir”  Gereja Kristen Batak, dengan  imbalan meraih gelar kehormatan “Tokoh Pluralis” dan sejenisnya.
Padahal, ambisi kalangan Kristen untuk mengkristenkan Indonesia belum pernah berakhir. Pada Catatan Akhir Pekan ke-281,  kita membahas ambisi dari sekelompok kaum Kristen evangelis yang  memasang target tahun 2020 sebagai masa “panen raya”. Sebuah buku  berjudul Transformasi Indonesia: Pemikiran dan Proses Perubahan yang Dikaitkan dengan Kesatuan Tubuh Kristus  (Jakarta: Metanoia, 2003), menggambarkan ambisi dan harapan besar kaum  misionaris Kristen di Indonesia tersebut. Ditegaskan dalam buku  tersebut:
”Indonesia merupakan sebuah ladang yang sedang menguning, yang besar tuaiannya! Ya, Indonesia siap mengalami transformasi yang besar. Hal ini bukan suatu kerinduan yang hampa, namun suatu pernyataan iman terhadap janji firman Tuhan. Ini juga bukan impian di siang bolong, tetapi suatu ekspresi keyakinan akan kasih dan kuasa Tuhan. Dengan memeriksa firman Tuhan, kita akan sampai kepada kesimpulan bahwa Indonesia memiliki prakondisi yang sangat cocok bagi tuaian besar yang Ia rencanakan.”
Inilah tekad kaum misionaris Kristen untuk mengkristenkan Indonesia. Segala daya upaya mereka kerahkan. Gereja-gereja terus dibangun di mana-mana untuk memuluskan misi mereka. Gereja-gereja dan gerakan misi terus bergerak untuk meraih tujuan, yang ditegaskan pada sampul belakang buku ini: ”supaya semua gereja yang ada di Indonesia dapat bersatu sehingga Indonesia dapat mengalami transformasi dan dimenangkan bagi Kristus.”
Menghadapi serbuan kaum misionaris tersebut, seharusnya kaum Muslim tidak perlu berkecil hati. Sudah saatnya umat Islam tidak bersikap menunggu dan defensif. Mungkin sudah tiba masanya, organisasi-organisasi Islam mencetak dai-dai yang tangguh, cerdas, berani, santun, dan ramah, untuk menyadarkan para pendeta Kristen dan tokoh-tokohnya, bahwa mereka sedang memeluk keyakinan yang salah (sesat/adh-dhalliin). Ajaklah mereka untuk menyembah Allah semata-mata, tidak menserikatkan Allah dengan yang lain, dan mengakui kenabian Muhammad saw. Jangan menyatakan Allah punya anak.
Jika mereka menolak, katakanlah, kami orang-orang Muslim; kita hormati keyakinan mereka, meskipun kita tidak membenarkannya. Sebab, tugas umat Muhammad saw hanyalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakan. Di akhirat nanti, akan terbukti, siapa yang benar dan siapa yang salah. Sebagai Muslim, kita yakin, bahwa kita benar! [adian husaini/hidayatullah.com/depok, September 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar