Siang  itu, terik matahari begitu  menyengat. Namun, panasnya terik matahari tak  membuat Aji mengurungkan  niatnya untuk tetap bernyanyi. Di perempatan  lampu merah yang berada  tepat di depan sebuah mall kawasan Jakarta,  punkers belia ini malah  sibuk menjajakan suaranya yang parau. Baginya,  terik panas matahari  merupakan sahabat.
"Tanpa matahari, tidak akan ada  kehidupan. Kita harus pandai  memanfaatkan sinar ciptaan Tuhan ini,"  ujar punker belia ini filosofis.  Umurnya baru 15 tahun, masalah ekonomi  dan keluarga mendorongnya  bersahabat dengan jalanan.
Aji  hanyalah sekelumit dari sekian ribu generasi muda anak bangsa di  rumah  besar yang bernama Indonesia. Di Negara yang mayoritas muslim ini   rib
uan generasi muda termobilisasi ke kehidupan jalanan. Punk adalah   salah satu fenomena kehidupan jalanan yang cukup mengkhawatirkan, selain   jumlahnya semakin meningkat, menurut riset Suara Islam  keberadaannyapun  telah dieksploitasi untuk kepentingan bisnis dan  ekonomi oleh  pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Siapa  Mereka?
Para punker biasanya datang secara berkelompok  berkumpul dari satu  tongkrongan ke tongkrongan yang lain. Sekilas  mereka bercirikan: rambut  mohawk, jaket penuh spike, kaos hitam  bergambar band-band punk dengan  berbagai slogan anti kemapanan. Kaki  mereka dibalut celana pipa ketat  dan mengenakan sepatu boot, ada juga  yang hanya bersandal jepit.
Mereka nongkrong di beranda depan  pusat perbelanjaan, pasar-pasar  ataupun pusat keramaian. Tidak jarang  mereka juga menempati lahan kosong  yang tak berpenghuni untuk sekedar  melepas penat, setelah seharian  berada di jalanan, sambil asik ngobrol  dan bermain musik. Dengan ukulele  (kentrung), gitar dan jimbe mereka  menyanyikan lagu-lagu sambil  menggali makna dari lirik lagu, dan di  sinilah proses belajar dan  mengajar secara tidak langsung terjadi di  komunitas ini secara alamiah.
Sebagian besar anak-anak itu  memilih hidup di jalanan. Ada yang masih  sekolah, banyak juga yang  putus sekolah. Sebagian besar mereka berlatar  belakang dari keluarga  miskin kota, yang tinggal di kampung-kampung  padat penduduk; Kali  Pasir, Mampang, Kota, Matraman, Kampung Melayu,  Cakung, Cengkareng,  Cipinang dan lain sebagainya. Bahkan ada yang datang  dari kota-kota  seperti Medan, Batam, Serang, Bandung, Indramayu,  Cirebon, Tegal,  Pekalongan, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya,  Denpasar, Makasar,  Manado, dan kota-kota lainnya.
Mereka bergerak bukan hanya  dari satu tongkrongan ke tongkrongan yang  lain, akan tetapi secara  nomaden dari satu daerah kedaerah lainnya.  Pantura menjadi rute utama  yang mereka lewati. Dengan modal menumpang  truk-truk besar, secara  bergerombol mereka melintasi batas dengan  pakaian yang kotor penuh  najis.  Gerombolan punk hampir pasti dapat kita  lihat di perbatasan  pantura bagai konvoi kendaraan yang tidak pernah  selesai. Mereka adalah  anak-anak muslim yang pasti meningggalkan ibadah  sholat, pakaian  mereka penuh najis, kotor dan tidak terurus.
Punk menyimpan  kekhawatiran yang cukup besar dibenak umat Islam, kedepan  ini juga akan  menjadi bola salju. Keberadaan mereka akan menjadi momok  yang cukup  luar biasa jika tidak ditangani oleh pihak-pihak yang terkait  dalam hal  ini institusi negara yang seharusnya punya peran besar dalam  melakukan  rehabilitasi terhadap dunia punk.
Ulama juga punya tanggung  jawab yang sama karena menjadi instrument  dasar di tengah masyarakat.  Ulama adalah soko guru masyarakat contoh  tauladan, ulama bisa mewarnai  bahkan membentuk masyarakat. Jika kita  telusuri peran ulama dan   keberadaan punk di jalan-jalan hampir pasti  peran umalama masih nihil  dalam konteks melakukan advokasi terhadap  komunitas jalanan ini.
Mereka Hippies Bukan Punk
Bagi seorang punk, jalanan adalah  kehidupan. Di jalanan mereka bertemu  dengan orang-orang, di jalanan  mereka saling berbagi pengetahuan, di  jalanan mereka berdagang, di  jalanan mereka menyuarakan kebenaran  melalui nyanyian. Pada 1980-an,  terjadi bentrokan hebat antara punker  dan hippies, karena perbedaan  persepsi tentang kehidupan di jalanan.
Bagi hippies, jalanan  adalah ruang publik sebagai tempat mereka  mengekspresikan kemuakan akan  kehidupan yang diwarnai perang dan ancaman  nuklir. Di jalanan mereka  berdemonstrasi membagi-bagikan bunga, seks  bebas (war no, sex yes) dan  menenggak obat-obatan (drugs) –mereka ingin  lari (escape) dari  kehidupan ini.
Kebalikannya, punk melihat kehidupan ini  sebagai projeksi, tergantung si  individu itu untuk melakukan perubahan.  Perubahan itu dimulai dari yang  tidak ada, doing more with less,  menjadi sesuatu yang ada dan berarti.  Punk tak pernah lari dan sembunyi  ketika dihadapkan pada problematika  kehidupan. “Hadapi, dan  tuntaskan”, ujar encek.
Melihat fenomena gerombolan yang  beratribut punk yang nongkrong, mabuk  dan mondar-mandir di Jakarta  akhir-akhir ini, tidak perlu dipertanyakan  lagi. “Mereka bukan punk,  mereka hanya beratribut punk tetapi jalan  hidupnya adalah hippies”.  Hanya hippies yang lari dari kehidupan, dengan  nenggak minuman dan  obat-obatan (drugs), mereka lari dari kenyataan,  lanjut Encek anak punk  Jakarta Selatan.
Mereka masih berusia belasan tahun, tiba-tiba  memutuskan berhenti  sekolah dan lari dari rumah, karena terpengaruh  teman-teman nongkrong.  Mereka menenggak minuman dan menelan puluhan  tablet dextro (tablet obat  batuk yang disalahgunakan untuk mabuk).  Banyak dari mereka adalah  perempuan berusia dini dan menjadi korban  pelecehan seksual.
Bagi mereka, punk sebatas tempat pelarian.  Lari dari kesumpekan rumah.  Lari dari tekanan hidup. Lari dari  tanggungjawab. Lari dari kenyataan.  Di kepala mereka, dengan  berpenampilan diri seperti punker, mereka bisa  bebas dari segala bentuk  tekanan hidup, bebas semau-gue, bebas nenggak  minuman atau menelan  puluhan tablet dextro, bebas mengekspresikan diri  sebebas-bebasnya  walau masyarakat di sekitarnya terganggu.
Punk, Exploitasi,  Bisnis dan Kemiskinan
Masyarakat awam sampai saat ini mungkin  masih memandang Punk sebagai  sebuah organisasi yang terpusat dan berada  pada satu komando tertentu.  Pada kenyataannya, punk adalah  satuan-satuan kecil komunitas yang  menyebar. Di luar itu, adalah massa  cair seperti yang dipresentasikan  para gerombolan yang beratribut punk  di jalanan.
Masalah ekonomi, kemiskinan, dan keluarga ternyata  masih menjadi arus  utama lahirnya komunitas punk. Latar belakang ini  tidak hanya terjadi di  tempat di mana punk dilahirkan, akan tetapi  kemudian merambah ke  seluruh dunia, Amerika bahkan kini sampai kepada  anak muda Indonesia.  Sebuah modul gaya hidup ala punk menyebar hampir  tidak terkendali.
Di Indonesia muncul masalah baru yang sangat  unik, modus baru yang Suara  Islam temui di salah satu jalanan ibu kota,  yaitu terkuaknya  eksploitasi anak jalanan dengan modus anak punk.  Mereka didandani ala  punk kemudian dikirim ke titik-titik uang, di mana  lampu merah dan  perempatan adalah lahan subur mendulang uang.
Sumber Suara Islam menyebutkan mereka didandani dan tempatkan di   wilayah-wilayah tertentu hanya untuk mendulang uang. Proses rotasi   kadang dilakukan jika sudah selesai waktu kerja mereka dijemput dengan   mobil.
Punk Muslim Memberi Jawaban
Punk di negeri ini  mungkin sudah lama diperbincangkan, mulai dari  kampus, kelompok studi,  sampai seminar di hotel berbintang lima. Namun,  untuk mengurai  persoalan ini ternyata tidaklah mudah sebab menyangkut  berbagai  persoaalan yang mendahuluinya, sebut saja permasalahan  kemiskinan dan  keluarga sebagai domain utama permasalahan ini.
Inilah fenomena  baru, ngaji di kalangan anak Punk. Mereka  mengeindetitaskan pengajian  komunitas underground itu dengan sebutan  Punk Muslim (PM). Mereka  adalah sisi lain punker. Suara Islam menemui  mereka di bilangan Kebon  Jeruk Jakarta Barat. Kebetulan Ahmad Zaki  kordinator pengajian PM  sedang menggelar walimahan adiknya.
Ambon, Asep, Mongxi, dan  Lutfi Tidak seperti anak-anak punk kebanyakan,  personil PM ini jauh  dari fashion punk. Mereka sederhana dan seperti  anak muda kebanyakan.
“Kemiskinan dan kebodohan adalah salah satu yang menyebabkan  mereka  turun kejalan”,  ujar Zaki panggilan akrab kordinator pengajian  PM.
Menurut Ambon permasalahan keluarga dan ekonomi adalah  penyebab dirinya  dulu melarikan diri ke jalan, “Di sana kita menemukan  tempat yang nyaman  untuk berlindung”. Ambon juga menambahkan,  “Sebenarnya walaupun  keluarga miskin asal pendidikan agama dalam  keluarga berjalan dengan  baik mereka tidak akan melarikan diri ke  jalan”, lanjutnya.
Keberadaan PM sebenarnya untuk  meminimalisir jumlah ataupun populasi  anak punk yang berada di  jalan-jalan. “Kami merekrut sebanyak banyaknya  anak punk dan  meminimalisisr keberadaan PM sendiri, artinya PM adalah  tempat  terakhir, yaitu sebagai tempat masa transisi ke dunia awal”.  Diharapkan  mereka kembali ke kehidupan normal dan kembali kepada fitrah  manusia.  (voice of al islam/20-05-2010/j aka setiawan)
akidah
(2)
jelajah medan dakwah
(4)
kajian
(21)
kajian 911
(1)
khutbah jum'at
(3)
nasehat ulama
(47)
pustaka
(2)
sekilas info
(38)
Senin, 10 Mei 2010
PUNK; DARI IDE KEBEBASAN, PERLAWANAN HINGGA BUDAYA YAHUDI 
     
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar