sampaikanlah walau satu ayat

Selasa, 27 April 2010

NASEHAT ULAMA

AKIDAH RUHIYAH DAN AKIDAH SIYASIYAH

(Diambil dari kitab Hadits As Siyam)

Akidah ruhiah adalah dasar pembahasan tentang pemeliha­raan urusan-urusan keakheratan. Akidah siyasiyah adalah dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan-urusan kedu­niaan. Setiap pemikiran yang dipergunakan sebagai landasan yang paling dasar bagi pemikiran-pemikiran berikutnya diang­gap sebagai akidah. Dari pemikiran tersebut dapat digali pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum lain. Bila pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum tersebut berkaitan dengan masalah-masalah akherat semisal kiamat, pahala, siksa, juga ibadah; atau berkaitan dengan pemeliharaan persoalan-persoalan tersebut, yaitu masalah akherat, seperti peringatan, petun­juk, dan ancaman dengan (adanya) adzab Allah serta rangsan­gan untuk mendapatkan sebesar-besarnya pahala Allah. Maka akidah ini merupakan akidah ruhiyah.

Bila pemikiran dan hukum-hukum tersebut berkaitan dengan persoalan dunia seperti takdir, pembebanan hukum, kebaikan, keburukan, perdagangan, sewa-menyewa, perkawinan, corporation (syirkah), warisan, atau yang masih berkaitan dengan pemeliharaan persoalan tersebut, seperti mengangkat pemimpin jama'ah, ketaatan kepada pemimpin serta mengoreksi­nya, seperti juga sanksi-sanksi hukum dan jihad, maka akidah seperti ini adalah aqidah siyasiyah.

Nasrani adalah aqidah ruhiyah semata karena sesungguh­nya pemikiran, dan hukum-hukum yang digali dari akidahnya berkaitan dengan persoalan keakheratan. Begitu juga pemiki­ran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan ini, yaitu masalah keakhiratan, serta yang lahir dari akidah Nasrani tersebut juga berkait dengan persoalan akherat semata.

Sedangkan Kapitalisme adalah akidah siyasiyah semata karena pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari akidah ini, berkaitan dengan persoalan dunia saja, seperti kebebasan (Liberalisme) dan azas manfaat (Utilitarianisme). Begitu juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan keduniaan tersebut dan yang lahir dari akidah Kapitalis tersebut, berkaitan dengan urusan dunia seperti demokrasi dan peperangan.

Adapun Sosialisme, yang antara lain berupa Komunisme semata-mata merupakan akidah siyasiyah karena pemikiran-pemikiran serta produk hukum-hukum yang lahir dari akidah tersebut hanya berkaitan dengan persoalan keduniaan seperti pembatasan dan pelarangan kepemilikan. Demikian juga pemiki­ran dan hukum-hukunm yang berkaitan dengan pemeliharaan persoalan ini, yaitu persoalan dunia dan yang lahir dari akidah Sosialis, berkaitan dengan urusan dunia saja, seperti membatasi demokratisasi di kelas buruh dan keditaktoran proletariat.

Sedangkan akidah Islam adalah akidah siyasiyah sekali­gus ruhiyah. Karena ia sanggup melahirkan pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan persoalan akhirat juga pemikiran dan hukum-hukum yang berkait dengan masalah kedu­niaan. Juga, pemikiran dan hukum-hukum yang berkait dengan pemikiran urusan tersebut, dan terlahir dari akidah Islam di antaranya berkaitan dengan urusan dunia.

Akidah ruhiyah tidak bisa membentuk pandang hidup, way of life, karena aqidah ruhiyah berkait dengan masalah sebe­lum kehidupan dan setelah kehidupan. Akidah ini tidak memi­liki relevansi dengan kehidupan dunia. Karena itu, akidah siyasiyah manapun bisa diberlakukan pada akidah ruhiyah tersebut, tanpa membahayakan (eksistensinya). Dan amat mudah menerapkan akidah siyasiyah apapun pada akidah ruhiyah tersebut, bahkan tanpa perlawanan sekecil apa pun. Maka apa yang kini disebut dengan nama idiologi sebenarnya tidak terdapat dalam akidah ruhiyah. Adapun akidah siyasiyah bisa membentuk pandangan hidup dalam kehidupan. Karena ia sendiri merupakan pemikiran tertentu tentang kehidupan dunia. Se­dangkan pemikiran dan hukum-hukum yang lahir dari akidah tersebut adalah pemikiran dan hukum-hukum tertentu (yang tidak terbatas) berkaitan dengan keduniaan semata.\

Akidah siyasiyah membentuk gambaran kehidupan yang khas. Gambaran akidah tentang dunia tersebut sesuai dengan ide dasar akidah itu. Dari sini, jelaslah bahwa tidak mudah menerapkan suatu akidah siyasiyah terhadap sebuah jama'ah yang sudah menggemban akidah siyasiyah dengan akidah siyasi­yah yang, kecuali dengan tangan besi dan peperangan. Atau setelah mereka telah menyadari kebobrokan akidah siyahsiyah mereka. Maka, mereka akan akan mengambil aqidah siyasiyah yang kuat, baik, dan jelas tersebut sebagai akidah siyasiyah mereka. Karena itu, negara-negara Barat amat mudah menjajah Kongo namun sulit menjajah Aljazair, kecuali setelah menggu­nakan tangan besi dan peperangan.

Pandangan hidup atau apa yang kemudian disebut sebagai idielogi, yang diajarkan akidah Kapitalis adalah kemanfaatan (Utilitarianisme). Metode operasional (untuk merealisasikan pandangan kemanfaatannya) adalah liberalisasi secara umum, yaitu kebebasan akidah, kebebasan kepemilikan, kebebasan individu, dan kebebasan pendapat. Akidah Kapitalis tersebut membentuk (pandangan) hidup dengan asas manfaat. Untuk meraih kemanfaatan ini manusia harus dengan memiliki kebeba­san.

Sedangkan pandangan hidup yang diajarkan akidah Sosia­lis adalah dialektika yaitu perubahan dari suatu kondisi ke dalam kondisi lain yang lebih baik dalam bentuk yang pasti (these-anti these-sinthese). Metode operasional untuk merea­lisasikan pandangan dialetikanya adalah adanya anti these, yaitu kanter frontal (thesa tandingan). Maka akidah Sosialis menggambarkan kehidupan sebagai terus bergerak (tidak pernah berhenti, atau nisbi dan bukan mutlak) yaitu perubahan menuju suatu kondisi lain yang secara pasti lebih baik. Untuk melahirkan dialektika tersebut, atau perubahan menuju suatu kondisi yang lebih laik harus ada keberanian melakukan kanter-kanter, jika memang telah ada. Bila belum ada, maka harus diwujudkan.

Adapun pandangan hidup yang diajarkan akidah Islam adalah halal dan haram. Dan metode operasional untuk merea­lisaskan pandangan halal-haram tersebut dengan membangun keterikatan terhadap hukum syara'. Maka pandangan tersebut selalu memandang kehidupan dengan standar halal dan haram. Apa saja yang halal baik, persoalan tersebut wajib, mandub (sunnah) maupun mubah, maka akan diambil tanpa ragu-ragu. Sesuatu yang makruh akan diambil dengan rasa khawatir. Sedangkan yang haram, tidak akan diambil sama sekali.

Ketika Barat melancarkan perang kebudayaan (ghazwus Tsaqafi) maka bertujuan mengubah pandangan hidup Islam, paling tidak menggoncangnya. Di antara senjata mereka adalah menciptakan keragu-raguan dalam beberapa akidah Islam, seperti serangan Barat terhadap persoalan qadar, kenabian Muhammad, serta penghormatan kaum muslimin kepada para shahabat beliau saw..

Senjata Barat yang lain adalah menghilangkan keper­cayaan kaum muslim terhadap kelayakan hukum-hukum syara' untuk menyelesaikan permasalahan kekinian sebagaimana seran­gan Barat terhadap hukum-hukum jihad bahwa Islam disebarkan dengan perang dan kekerasan. Demikian pula terhadap poliga­mi, thalak, dan sebagainya.

Juga termasuk senjata Barat adalah serangan Barat terhadap penerapan hukum syara'. Mereka mengambil pendapat sebagian ahli fiqih sebagai alat untuk menyerang. Apa yang dinyatakan oleh sebagaian ahli Fiqih, berupa mashalih mursa­lah, pemeliharaan kemaslahatan, pemberlakuan tradisi sebagai sumber hukum serta isu perubahan hukum lantaran perubahan zaman telah dijadikan oleh Barat sebagai alat untuk menjadi­kan asas manfaat sebagai standar perbuatan, yang bukan lagi hukum syara'. Hasil dari semuanya itu, adalah melemahnya pengambilan halal dan haram sebagai standar perbuatan yang kemudian kelemahan tersebut mulai meluas. Pertama-pertama kemanfaatan dijadikan sebagai dasar pengambilan hukum dan bukannya dalil. Tatkala Barat menemukan adanya pendapat sebagian ulama', yaitu dimana saja ada kemaslahatan pasti di sana ada hukum Allah, mereka menjadikannya sebagai alat untuk menguatkan pandangan kemanfaatan tersebut menjadi standar hukum syara'. Kemudian berangsur-angsur pandangan kemanfaatan tersebut menjadi standar kehidupan.

Tatkala Barat menguasai negari-negeri Islam lalu men­cengkramkan kekuasaannya ke wilayah-wilayah Islam tersebut, maka Barat mulai meniupkan akidah mereka yaitu pemisahan agama dari negara (Sekularisme) dan menanamkan asas manfaat yang mereka ciptakan. Sehingga mampu menggilas pandangan hidup Islam pada sebagian besar umat manusia. Lalu menyebar­lah ke hampir seluruh negeri-negeri Islam. Yaitu menjadikan kemanfaatan sebagai standar kehidupan. Sekalipun masih ada sisa-sisa dijadikannya halal dan haram sebagai standar kehidupan.

Kalau kita perhatikan, akidah Islam saat ini belum kembali dimiliki kaum muslimin sebagai akidah siyasiyah. Meskipun tetap dimiliki sebagai akidah ruhiyah. Pandangan hidup yang dibentuk oleh aqidah tersebut tidak pernah diwu­judkan dalam realitas kehidupan, sekalipun masih ada pada individu-individu muslim.

Sebab membuminya penyakit tersebut ada pada dua hal berikut ini: Pertama, adanya kerusakan pada asas pemahaman­nya tentang kehidupan, yaitu akidah siyasiyah. Kedua, adanya kerusakan pada pandangan hidupnya yang dibentuk oleh akidah siyasiyah tersebut, yaitu setelah pandangan hidup halal-haram berubah menjadi pandangan kemanfaatan.

Cara penyelesaiannya harus dimulai dengan akidah, yaitu dengan menjelaskan bahwa Islam adalah akidah siyasiyah, kemudian hal itu ditanamkan secara membekas. Tentang aspek ruhiyah yang terdapat pada akidah Islam sudah diketahui oleh seluruh umat Islam. Begitu juga harus dengan mengaitkan aqidah tersebut dengan pemikiran-pemikiran tentang kedu­niaan, juga pemikiran-pemikiran yang berkait dengan pemeli­haraan persoalan dunia. Harus mengaitkan keimanan kepada Allah dengan keimanan kepada Al-Qur'an dan makna iman kepada Kitab, Al Qur'an. Juga mengaitkan keimanan pada risalah yang dibawa Nabi dan kenabian beliau dengan sunnah dan makna iman kepada sunnah. Setelah itu, beralih (untuk merubah) pandan­gan hidup yang dibangun di atas akidah tersebut, yaitu beralih kepada halal dan haram sebagai standar kehidupan. Sebenarnya pandangan kehidupan dalam kaca mata Islam adalah halal dan haram, bukan kemanfaatan, bukan pula dialektika ataupun apa yang disebut sebagai pandangan perkembangan.

Akidah sebenarnya berarti pembenaran yang pasti. Pembe­naran yang tidak pasti bukanlah akidah. Pembenaran pasti tersebut menuntut keharusan untuk tidak menerima apa yang tidak diyakini. Artinya, bila ada yang menyatakan ini boleh dan yang itu juga boleh, maka ini bukan akidah karena hal ini bukan pembenaran yang pasti, melainkan hanya pembenaran saja. Keyakinan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah berarti pembenaran yang pasti bahwa Al-Qur'an satu-satunya yang cocok, karena Al-Qur'an adalah wahyu dari Allah. Bila, ada yang menyatakan ini benar dan yang lain juga benar, maka itu bukan pembenaran yang pasti melainkan pembenaran saja. Keyakinan bahwa bila hadits tersebut sahih adalah satu-satunya yang cocok sebab ia merupakan wahyu dari Allah. Maka, pernyataan bahwa hadits tersebut cocok, sedangkan yang lain juga cocok bukan merupakan pembenaran yang pasti, melainkan hanya pembenaran semata. Maka akidah ini menentu­kan adanya kepastian dalam pembenaran. Bila kepastianya telah pupus, maka sifat keyakinanya pun telah hilang dari akidah tersebut.

Pandangan hidup sebenarnya amat bergantung pada akidah­nya. Apabila hukum syara' dinyatakan ada karena untuk ke­manfaatan tertentu, maka berarti disana ada kerusakan dalam mengaitkan pandangan hidupnya dengan akidahnya. Maka, keru­sakan ini harus dibenahi bahwa hukum syara' dalilnya adalah syara' yaitu wahyu yang disampaikan dari Allah. Dan bukan kemanfaatan. Bila dinyatakan bahwa hukum syara' tersebut tidak cocok untuk masa sekarang tetapi hanya cocok untuk masa dulu sedang yang cocok untuk saat ini adalah kemanfaa­tan atau perundang-undangan modern, maka di sana terdapat kerusakan dalam akidah serta dalam mengaitkan pandangan hidup dengan akidahnya. Kerusakan tersebut harus dibenahi. Keyakinan kepada adanya Allah serta kenabian Muhammad tersebut bisa menolak hal-hal tersebut. Seruan-seruan di dalam Al-Qur'an dan hadist adalah untuk manusia di sepanjang masa. Setelah menerima, baru beralih pada pembenahan hubun­gan (antara akidah dan pandangan hidupnya).

Bila dinyatakan bahwa pandangan hidupnya adalah halal dan haram tersebut tidak bertentangan dengan pandangan hidup manfaat, maka di sana terdapat kerusakan dalam hal pengaitan antara akidah dengan pandangan hidupnya. Kerusakan tersebut harus dibenahi. Halal dan haram dalilnya adalah syara' bukan asas manfaat. Maka yang dituntut adalah syara', bukan keman­faat. Bila dikatakan bahwa pandangan hidup halal dan haram tidak sesuai untuk massa kini tetapi yang sesuai adalah yang maslahat atau manfaat, maka di sana terdapat kekeliruan dalam akidah dan dalam pengaitannya. Kekeliruan tersebut harus diluruskan. Kitab Allah diturunkan untuk manusia di setiap masa dan bukan masa-masa tertentu. Setelah menerima, baru beralih untuk meluruskan pengaitannya.[suara Islam/Tuesday, 13 October 2009]

Bukti Amerika Menyebarkan Virus Flu Babi Melalui Pesawat dan Keterlibatan NAMRU

Sebuah kabar santer yang beredar di Rusia mengatakan kalau sebenanya pesawat MD-II milik maskapai penerbangan Zimbabwe, Avia Aviation yang mengalami kecelakaan di bandara Shanghai Pudong, Cina tahun 2009 lalu adalah pesawat carteran CIA.

Pesawat tersebut menurut dugaan bukan jatuh karena kecelakaan (sebagaimana dikabarkan oleh media-media Internasional), tapi ditembak oleh Agen Mossad Israel karena membawa muatan virus flu Babi yang dapat bermutasi ke tubuh manusia. Mossad menembak pesawat tersebut untuk mencegah ancaman virus di dalamnya terhadap salah satu basis mereka di Asia Tengah yang terletak di negara Kyrgyzstan.

Menurut narasumber di Rusia, pesawat tersebut membawa misi penyebaran virus ke pangkalan rahasia Israel yang terletak di Kyrgyzstan, Asia tengah yang memperkejakan orang-orang Yahudi Ashkenazi (Yahudi Ashkenazi adalah keturunan Yahudi terbanyak diantara orang-orang Yahudi di seluruh dunia ).

Media cetak Cina menjelaskan kalau pesawat MD-II tersebut dioperasikan oleh mantan perwira militer Inggris bernama Andrew Smith. Sedangkan para penumpang pesawat terdiri dari 7 orang, 3 anggota CIA dan 4 orang kru dari Amerika Serikat, Indonesia, Belgia dan Zimbabwe.

Yang paling menarik dari penjelasan tersebut adalah pengakuan salah satu korban selamat dari Indonesia yang mengaku kepada polisi rahasia Cina kalau dia adalah seorang teknisi Naval Medical Research Unit No 2 (NAMRU-2) milik Angkatan Laut Amerika Serikat yang berada di Indonesia. Oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono NAMRU-2 akhirnya ditutup karena operasinya terlalu rahasia dan tidak sesuai dengan kepentingan Indonesia.

NAMRU 2 adalah lembaga riset biologi Amerika di Indonesia yang bekerjasama dengan Rockefeller Institute Amerika. Lembaga tersebut memiliki program rahasia yang dinamakan Viral Diseases Program (VDP), program riset yang meniliti epidemologi virus demam berdarah, influenza, ensefalitis, dan rickettsioses. Lembaga tersebut diketuai oleh David Rockefeller.

NAMRU 2 sering dicurigai membawa misi rahasia Amerika, seperti mengembangkan senjata biologi pemusnah massal. Kecurigaan tersebut sangat berdasar mengingat pidato David Rockefeller saat ia berbicara di hadapan Komisi Trilateral Amerika pada bulan Juni tahun 1991 silam.

"Kami berterima kasih kepada harian Washington Post, harian New York Times, Time Magazine dan media cetak lainnya atas kebijaksanaan mereka mau menepati janji selama hampir empat puluh tahun ini. Kami sendiri tidak mungkin bisa mengembangkan rencana kami untuk dunia jika harus tunduk terhadap peraturan transparasi informasi. Namun saat ini fasilitas kami lebih canggih dan kami siap untuk mendukung Amerika."

Penggunaan pesawat untuk menyebarkan virus adalah strategi yang sering digunakan Amerika sebagaimana yang pernah dilaporkan oleh surat kabar Cina tahun lalu.

"26 Juni 2009, sebuah pesawat yang mencurigakan dipaksa mendarat di Pakistan. Pesawat bernomor penerbangan AN-124 milik Amerika tersebut mencoba mengubah tanda panggilan militer ke sipil sehingga memicu respons dari Komando Udara Pakistan dan memaksa pesawat tersebut mendarat di Mumbai, India. Sedangkan di Nigeria sebuah pesawat milik Amerika juga dipaksa mendarat oleh jet tempur Nigeria. Awak pesawat tersebut akhirnya ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Kejadian lain terjadi di Ukraina. Sebuah pesawat misterius yang diduga milik Amerika tiba-tiba menyemprotkan cairan zat kimia tertentu di atas pemukiman penduduk yang dibantah oleh pihak berwenang Ukraina.

Seorang warga berani bersaksi membenarkan kejadian tersebut. Surat kabar lokal Kiev juga menerima ratusan laporan dari warga dan pemilik usaha di dekat tempat kejadian perkara mengenai penyemprotan tersebut.

Tapi pemerintah setempat justru seolah-seolah menutupi kasus tersebut. Mereka memaksa stasiun-stasiun radio di Kiev menghentikan laporan-laporan yang berhubungan dengan kejadian tersebut.

Setelah penyemprotan tersebut, secara tiba-tiba kasus mutasi virus flu babi marak di Ukraina. Banyak penduduk dilaporkan terinfeksi virus tersebut.

Sekitar 40.000 jiwa di Ukraina terinfeksi virus yang mirip dengan H1N1 atau flu babi. Menurut keterangan paramedis, virus yang menyerang Ukaraina tersebut lebih kuat dari virus H1N1 atau flu babi dengan proses mutasi yang lebih cepat ke tubuh manusia, mempengaruhi sistem paru-paru dan aliran darah, kemudian merusaknya."

Tidak berhenti di Ukraina saja. Kasus flu babi yang mengerikan tersebut menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) juga menimpa penduduk Perancis, Norwegia, Brazil, Cina, Jepang, Meksiko, Ukraina, dan Amerika Serikat sendiri yang jumlahnya mencapai 8.000 jiwa. Kabar terakhir dari Cina, virus mematikan tersebut juga dapat bermutasi ke tubuh anjing.

Dari peristiwa-peristiwa di berbagai belahan dunia tersebut, kebenaran mengungkap kesengajaan Amerika menyebarkan virus H1N1 atau flu babi sebagai pemusnah massal yang justru diabaikan banyak orang, bahkan dianggap sebagai lelucon, padahal mereka tidak tahu kalau pemusnahan telah direncanakan oleh para monster dan sekarang terus dilakukan. Mereka tidak tahu sama sekali kalau mereka telah ditipu oleh propaganda dan muslihat Amerika.

Kita hanya dapat berharap masyarakat dunia terbangun sebelum semua yang tidak diinginkan terjadi kepada mereka.

Artikel ini diterjemahkan dari situ forum badan pertahanan Pakistan www.defence.pk/forums(voa-islam/Selasa, 30 Mar 2010)

Sabtu, 24 April 2010


AQIDAH, KUNCI KEJAYAAN UMMAT

by : Abu Mushlih.com

Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa pondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.

Yang kita bicarakan bukanlah sekedar semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan para pemuda yang membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bangkitnya Para Pemuda

Saudara-saudaraku sekalian, kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

“Kami mengisahkan cerita mereka kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.” (QS. al-Kahfi [18] : 13).

Sebagaimana pula di hari kiamat nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam aktifitas ibadah kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kebangkitan para pemuda dari berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi, tanpa perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan, gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.

Rahasia Keberhasilan

Saudara-saudaraku sekalian, para pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini, ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya.

Allah ta’ala berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS. al-Qashash [28] : 56).

Oleh sebab itu Ibnul Qayyim mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba. Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).

Mulailah Dari Hatimu…

Sesungguhnya perjuangan yang bisa mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan,

إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ

“Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…” (HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij at-Thahawiyah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).

Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya. Allah ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/310).

Nah, bagaimana mungkin akan kita katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk untuk berkurban, bahkan mereka rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam suatu pertempuran; apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang berperilaku laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).

Apakah yang membedakan tubuh kita dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum. Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka memiliki keimanan laksana gunung.

Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat daripada timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman). Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij al-Misykat namun maknanya benar).

Maka janganlah heran apabila kalian mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara yang mencelakakan.” (HR. Bukhari).

Lihatlah para sahabat dengan segenap kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin masuk surga, dan seribu empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.”

Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng meninggalkan perkara sunnah, yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit dengan bumi!

Hati Para Sahabat Sebagai Teladan

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh yang membuat hati-hati bergetar (takut) dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar (takut), dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).

Para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan, bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…” (HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR. Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka. Padahal mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!

Para sahabat adalah orang-orang yang menunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah, dan ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!

Para sahabat adalah orang-orang yang mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak, tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya tentang makna istiwa’ (tinggi di atas Arsy) Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).

Ini semua menunjukkan kepada kita -wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam semesta Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota badan.

Lihatlah Diri Kita, Jangan Bermimpi…

Sekarang, kita akan bertanya kepada diri kita masing-masing : Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu Syubuhat, Kitabut Tauhid, Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian dia gunakan untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para sahabat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini (al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.” (HR. Muslim).

Apakah sekarang -di negeri ini- kita bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai dengan syari’at -terlebih khusus kaum muslimah-? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kesyirikan, kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan dikerjakan dengan terang-terangan di mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan sarana?

Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam dan mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita : Silakan kalian bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)!

Sadarlah, Wahai Saudaraku!

Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi menyimpang.

Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Di manakah letak kemuliaan akhlak pada diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak sikap rendah hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa Islam sudah sempurna merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?

Sungguh, yang kita takutkan sekarang ini bukanlah tank-tank dan rudal Yahudi.. Namun yang kita takutkan adalah para generasi muda Islam yang menikmati gaya hidup dan perilaku ala Yahudi serta tokoh-tokoh penyesat umat yang berwajah Kiyai. Musuh-musuh dalam selimut yang meruntuhkan kekuatan umat ini dari dalam, inilah yang menjadi ganjalan bagi kejayaan umat ini. Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang masih memiliki akal pikiran…

MENGAPA HATI MEMBATU?

I
bnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati. Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits, “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? Apakah keselamatan itu?”. Maka Nabi menjawab, “Tahanlah lisanmu, hendaknya rumah terasa luas untukmu, dan tangisilah kesalahan-kesalahanmu.” (HR. Tirmidzi [2406], dia mengatakan; hadits hasan. Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib [2741]).

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah mengatakan [al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/256], “Segala sesuatu memiliki ciri, sedangkan ciri orang yang dibiarkan binasa adalah tidak bisa menangis karena takut kepada Allah.”

Di antara sebab kerasnya hati adalah :

* Berlebihan dalam berbicara
* Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
* Terlalu banyak tertawa
* Terlalu banyak makan
* Banyak berbuat dosa
* Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya

Agar hati yang keras menjadi lembut
Disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib [hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”

Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena Allah antara lain :

* Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya
* Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
* Banyak berdzikir kepada Allah
* Memperbanyak ketaatan
* Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian atau melihat jenazah orang
* Mengkonsumsi makanan yang halal
* Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
* Sering mendengarkan nasehat
* Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada Allah
* Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
* Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan neraka
* Berdoa
* Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri

[diringkas dari al-Buka' min Khas-yatillah, hal. 18-33 karya Ihsan bin Muhammad al-'Utaibi]

Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru semakin menambah buruk keadaannya (lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 225)

(abumushlih/agustus 2009)

PLURALISME BUKAN TOLERANSI, TAPI FAHAM SYIRIK

Oleh: Asmu'i

Sepeninggal Gusdur, banyak yang 'latah' bicara pluralisme. Mulai dari orang-orang tingkat atas (para tokoh Nasional) sampai rakyat yang ada di akar rumput.

Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi memiliki definisi tersendiri tentang pluralisme. Menurutnya, yang dimaksud tidak lain adalah pluralisme sosiologis, bukan pluralisme teologis. Dalam pluralisme sosiologis ini, tegas beliau, terdapat kebersamaan 'umat' beragama dalam komunitas keduniaan atau immanent sebagai pengejawantahan Bhinneka Tunggal Ika atau unity and diversity. Setiap agama di luar teologi dan ritualnya pasti ada ruang humanisme dan di situlah umat lintas agama bertemu, tegas Hasyim kepada Republika di Jakarta, Senin (4/12).

Namun, apakah ruang gerak "pluralisme" ini benar-benar hanya pada ranah sosial? Apa sebenarnya pluralisme itu? Apakah memang ada perbedaan antara pluralisme sosiologis dan pluralisme teologis? Mari kita lihat!

Kebingungan para liberalis tentang pluralisme

Alih-alih tanggungjawab untuk menjaga dan mempererat persatuan masyarakat Indonesia, orang-orang liberal kembali angkat bicara agar faham pluralisme bisa diterima masyarakat. Wacana yang semula sempat mengendap karena ada fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005 itu, mereka 'utak-atik' lagi. Di sini, kita mulai melihat "apa sebenarnya faham ini."

Dalam tulisannya Pluralisme Pasca-Gus Dur (Kompas, 4 Januari 2010), Zuhairi Misrawi berbicara banyak masalah pluralisme ini. Kita mulai melihat bentuknya. Ia memulai tulisannya dengan 'keluhannya' terhadap fatwa haram MUI terhadap faham pluralisme. Menurutnya, fatwa ini cukup berpengaruh di 'akar rumput'. Makanya, ia resah dan gelisah. Sebab hal ini, lanjutnya, dapat mengganggu upaya membangun harmoni dan kebersamaan. Karena itu, fatwa itu ia anggap sebagai tantangan serius.

...Orang-orang liberal mencampuradukkan antara pluralisme sosiologis dengan pluralisme teologis...

Membaca tulisan Zuhairi ini, terlihat jelas betapa ia menjadikan "kusut" masalah pluralisme ini. Ia mencampuradukkan -yang oleh banyak orang dibedakan- antara pluralisme sosiologis dengan pluralisme teologis.

Mula-mula, dalam melihat 'masa depan' pluralisme di Indonesia, Zuhairi meneropongnya dari keluarnya fatwa MUI tanggal 29 Juli 2005 yang mengharamkan Pluralisme Agama. Menurutnya, fatwa tersebut acap kali dijadikan landasan untuk melarang kegiatan dan memejahijaukan kelompok minoritas dalam intra-agama dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama. Pandangannya ini menimbulkan pertanyaan serius. Apalagi, dalam banyak kesempatan, Zuhairi membuktikan pernyataannya ini. Kita ambil kasus terdekat, Ahmadiyah, yang mendapat penolakan dari MUI melalui pertimbangan Undang-Undang tersebut. Dalam kasus ini, dengan lantang Zuhairi Misrawi menolak fatwa MUI ini.

Jika ditarik lebih dalam, pemikiran Zuhairi tersebut lahir dari keyakinannya bahwa tidak ada truth claim. Masing-masing orang bebas beragama dan berkeyakinan. Zuhairi tidak mau memahami bahwa, soal Ahmadiyah adalah soal aqidah. Ini jelas, sebab Ahmadiyah berdiri atas dasar 'aqidah Ahmadiyah' yang bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Namun, karena memandang semua agama posisinya sama, maka Zuhairi tidak bisa atau tidak mau membedakan 'mana yang sesat dan mana yang benar'. Semuanya sama. Padahal, pada saat yang bersamaan, ia sedang tidak memberi kebebasan kepada yang lain, umat Islam untuk melaksanakan keyakinan mereka. Ia memaksa umat Islam menjadi pluralis, liberalis. Dus, ide pluralisme membuat Zuhairi bingung dan mengajak orang lain untuk ikut-ikutan 'berbingung ria.'

Di sini Zuhairi membuktikan bahwa pada dasarnya, pluralisme sosiologis dan pluralisme teologis -sebagaimana yang akan penulis buktikan lebih lanjut- maksudnya sama, tidak berbeda seperti yang dikira oleh kebanyakan masyarakat. Makanya, di kalangan orang-orang liberal, penggunaan dua istilah tersebut tidak dibeda-bedakan. Jika pun mereka melakukan pembedaan, itu sebatas untuk membuat 'seolah-olah' faham tersebut "baik-baik" saja. Namun yang cukup menggelikan, agar 'permohonannya' kepada MUI untuk mencabut 'fatwa haram' terhadap faham pluralisme, Zuhairi menyamakan masalah pluralisme yang sedang dihadapi MUI dengan diktum pendapat lama (qaul qadim) Imam Syafi'i selama beliau di Irak dan pendapat baru (qaul jadid)-nya ketika menetap di Mesir. Satu lompatan analogi yang dipaksakan. Beginilah orang liberal menjelaskan "hakikat" pluralisme itu.

Tentu, pendapat Zuhairi di atas bertolak belakang dengan maksud pluralisme yang diperjuangkan NU, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi. Bahkan, dalam masalah fatwa haram dari MUI terhadap faham pluralisme misalnya, NU menjadi salah satu ormas Islam yang mendukungnya. Dan jauh sebelum fatwa itu keluar, tepatnya dalam muktamar NU ke-31, NU telah menyatakan sikapnya tegasnya, yakni menolak pluralisme. Tidak cukup itu, dalam Forum kiai-kiai NU di Bahtsul Masail se Jawa dan Madura kembali mengeluarkan tausiyah (pernyataan) yang mendukung fatwa MUI tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam hal ini, Zuhairi tidak sedang berada di barisan yang sama dengan NU.

Walhasil, pluralisme itu bukan hanya doktrin sosial, sebab ia akan selalu menyentuh aspek teologis. Mengapa demikian? Mari kita telusuri lebih lanjut!

Definisi dan doktrin Pluralisme

Di Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern. Sejak awal, postmodernisme ini menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya. Di mana dalam hal ini, postmodernisme menjadikan pluralisme sebagai senjatanya. Sebenarnya, postmodernisme itu sendiri dihidupkan oleh semangat pluralisme, kata Akbar S Ahmed dan Ernest Gelner. Tujuannya, kata Peter L Berger, pluralisme itu sebagai ganti sekularisme yang dianggap gagal. Dan dari perut pluralisme inilah, faham 'pluralisme agama' lahir.

... pluralisme itu sebagai ganti sekularisme yang dianggap gagal. Dan dari perut pluralisme inilah, faham 'pluralisme agama' lahir...

Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language diungkap bahwa pluralisme dipahami dalam dua makna, pertama, adanya pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Artinya, toleransi yang dimaksud adalah di mana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Kedua, pluralisme berupa doktrin, yakni: a). pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) dalam masalah kebenaran, tidak ada jalan untuk mengatakan hanya ada satu kebenaran tunggal tentang suatu masalah, c) berisi ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya, d) teori yang sejalan dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth), e) dan terakhir, pandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya (no view is true, or that all view are equally true). (Lihat juga dalam Oxford Advanced Lear ners’ Dictionary of Current English dan Oxford Dictionary of Philosophy).

Dari sisi definisi saja dapat diketahui bahwa pluralisme itu sendiri sudah mengandung pandangan relativitas dalam kebenaran, atau setidaknya, curiga terhadap kebenaran. Pluralisme ini tidak berpegang pada suatu dasar apa pun. Tidak boleh ada kebenaran tunggal. Bahkan dalam satu pengertian, pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada.

Dalam bukunya, The Desecularization of the World, Peter Ludwig Berger menyatakan, pluralisme dengan dukungan globalisasi akan mengubah pengalaman keberagamaan individu. Lambat laun, ia akan menggeser posisi agama, sebab menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual. Agama tidak lagi menjadi sandaran, baik di tingkat internasional dengan globalisasinya dan nasional dengan demokrasi liberalnya. Akhirnya, otoritas menjadi hak setiap individu. Jika demikian, posisi pluralisme bagi masyarakat lebih kuat dari pada agama, ungkap Berger. Jelasnya, pluralisme menjadi agama baru.

Sementara itu, ungkapan lebih tegas disampaikan oleh Diana L.Eck dalam The Challenge of Pluralism. Menurutnya, pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity). Lebih jauh ia membayangkan bahwa, pluralisme merupakan penyatuan agama-agama, yakni realitas keagamaan yang plural (baca: From Diversity to Pluralism). Karena itu, ia menyarankan agar menerima kebenaran yang ada pada agama lain. Baginya, masing-masing agama memiliki wilayah kebenaranya sendiri. Artinya, Diana meyakini bahwa semua agama itu sama benarnya, yang satu tidak lebih benar dari yang lain. Relativisme menjadi ciri khas pemikiran Diana ini. Jika demikian, sesungguhnya 'sasaran utama' pluralisme adalah agama. Artinya, pluralisme itu tidak bergerak di ranah sosial semata, tapi juga mencakup ke aspek teologis. Oleh karena itu, pluralisme dan pluralisme agama adalah dua faham yang sama.

Selanjutnya, pluralisme agama memiliki sekurang-kurangnya dua aliran besar, yaitu aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious) yang dicetuskan oleh Fritjhof Schuon dan aliran Teologi Global (global theology) yang dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith.

Dalam aliran Kesatuan Transenden Agama-agama (transenden unity of religious), Schuon menawarkan ide 'pembacaan' agama menjadi dua tingkat, tingkat eksoterik dan esoterik. Perbedaan antar agama ada pada tingkat eksoterik (lahiriah), sedangkan pada aspek esoterik, agama-agama itu menyatu, memiliki Tuhan yang sama sekaligus abstrak dan tak terbatas, terangnya.

Secara kasat mata, pandangan ini sangat bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam. Di mana ia malah mengajak kita, umat Islam untuk berbuat syirik. Selain itu, dalam idenya ini, Schuon tidak begitu mementingkan aspek eksoterik. Jelas-jelas ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padahal, aspek eksoterik (syari'ah) itu adalah salah satu misi utama kenabian. Bentuk-bentuk ibadah yang tidak sesuai dengan yang Rasulullah Saw contohkan tidaklah sah. Lebih dari itu, dalam Islam tidak dikenal pemisahan kedua aspek tersebut. Satu sama lain terkait. Untuk mencapai tingkat esoterik yang benar, seorang muslim/muslimah harus melaksanakan syariah secara benar, sebagaimana yang dicontohkan Nabi SAW.

Demikian halnya dengan aliran Teologi Global (global theology), juga memiliki problem serius. Menurut aliran ini, agama-agama yang ada harus menyesuaikan diri dengan kondisi dan perkembangan sosial budaya masyarakat hari ini. Maksudndya masyarakat yang plural. Universalisasi ideologi Barat adalah tujuan yang hendak dicapai (baca: Dr. Amir al-Roubaie). Demi universalisasi ini, John Hick dan juga Diana L Eck 'melebur' batas agama-agama (ekslusivisme). Akibatnya, ada perubahan radikal dalam masalah Ketuhanan, yaitu dari 'banyak agama' banyak Tuhan, menjadi 'banyak agama' satu Tuhan. Sementara dalam hal pengetahuan akan 'Tuhan dan kebenaran', Hick mengatakan bahwa itu sifatnya relatif (baca: An Interpretation of Religion).

..Pluralisme bukan toleransi. Ia lebih tepat dimaknai sebagai relativisme kebenaran. Semua agama benar karena menuju Tuhan yang sama...

Melihat uraian ini, pluralisme bukan toleransi. Ia lebih tepat dimaknai sebagai relativisme kebenaran. Semua agama benar karena menuju Tuhan yang sama. Miris.

Fenomena meninggalkan tauhid demi pluralisme

Melihat ini, menarik menilik 'apa' yang disampaikan oleh Prof. Dr. M. Amien Rais, tokoh senior Muhammadiyah. Beliau secara tegas mengkritik tokoh-tokoh dan aktivis Muhammadiyah yang sudah meninggalkan wacana Tauhid dengan bicara dan menyebarkan faham Pluralisme secara 'kebablasan (wawancara di Majalah Tabligh, edisi Maret 2010).

Menyadari ini, para tokoh nasional hendaknya berhati-hati dalam menggunakan istilah pluralisme. Apalagi mengajak orang lain untuk menjalankannya. Di atas segalanya, mereka harus lebih mengedepankan isu ”iman”, bukan lainnya. Dalam masalah pluralisme ini misalnya, jangan hanya karena "dipaksakan", lalu istilah itu begitu saja dipakai. Sebab, setiap istilah itu tidaklah 'tergeletak' begitu saja. Ia mengandung nilai-nilai, konsep dan ideologi bangsa yang melahirkannya. Jika datang dari Barat misalnya, maka ia mewakili nilai-nilai mereka (Barat). Demikian juga dengan istilah pluralisme.

Kita meyakini, tanpa menggunakan istilah yang 'keren-kerenan', bangsa kita bisa terus menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan. Sampai-sampai, perbedaan dalam masalah agama tidak boleh menghalangi seorang anak untuk berbuat baik kepada orang tuanya. Namun, untuk masalah keimanan dan kemusyrikan, kita tidak mentolerir. Maksudnya, kita menginginkan perdamaian dan kerukunan. Tetapi, tauhid lebih penting. Faktanya, Islam mampu melakukan ini.

...Singkatnya, tidak dapat disangkal bahwa, pluralisme itu adalah faham syirik...

Islam mengakui perbedaan dan dialog. Namun bukan berarti kita harus melebur agama ini. Jika peleburan ini yang terjadi, justru kerukunan tidak akan pernah tercapai. Karena itu, jika ide 'pluralisme' diteruskan, semua agama dirugikan. Sebab, mereka tidak lagi bisa menjalankan ajaran agamanya. Tetapi, dipaksa untuk ikut aturan yang dibuat manusia, yaitu pluralisme yang berfungsi sebagai 'agama baru'. Singkatnya, tidak dapat disangkal bahwa, pluralisme itu adalah faham syirik. Wallahu A'lamu bi ash-Shawab.

[Penulis adalah alumnus ke-2 Program Kaderisasi Ulama (PKU) Gontor Ponorogo 2009, sekarang sedang menyelesaikan Program Pasca Sarjana di Universitas Darussalam Gontor Ponorogo, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Akidah].(Sabtu, 24 Apr 2010

ASTAGA...! MENGHARUMKAN MUHAMMADIYAH KOK DENGAN PAMER AURAT?

Maksud Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Drs H Dalail Ahmad MA ini sebenarnya baik. Ia ingin mengharumkan persyarikatan Muhammadiyah dan nama besar Sumatera Utara. Tapi sayang, ia salah jalan, dengan menghalalkan segala cara, termasuk menabrak norma-norma persyarikatan Muhammadiyah tentang adab wanita muslimah.

Alih-alih mengharumkan persyarikatan, Rektor UMSU yang juga menjabat sebagai Ketua PW Muhammadiyah Sumatera Utara mendukung salah satu mahasiswinya, Corina Reviera (19) untuk terjun dalam festival mencari superstar bertajuk “Indonesian Idol.”

Untuk menggapai impiannya itu, Rektor UMSU merilis imbauan di situs resmi UMSU, agar seluruh mahasiswa UMSU mendukung dan mendoakan Corina Reviera, mahasiswi Fisipol UMSU, yang akan tampil di sebuah stasiun televisi swasta, Jum’at 9 April 2010 jam 9 malam.

“Dukungan yang diberikan bisa dengan mengirimkan SMS dukungan kepada Corina Reviera dengan mengetik Orin kirim ke 92## sebanyak-banyaknya. Termasuk juga dengan dukungan doa agar mahasiswa UMSU utusan Sumut ini dapat memenangkan acara tersebut,” imbau Dalail Ahmad dalam website resmi UMSU.

Dalam imbauan tersebut, tak lupa dipajang foto Corina Reviera dengan gaya sensualnya. Tampil tanpa jilbab, rambutnya dibiarkan terburai ke kiri dan ke kanan seperti tertiup angin. Senyumnya diumbar bak artis “panas” papan atas, sementara –astagfirullah– leher yang dibiarkan terbuka dinikmati siapa saja.

...Bagaimana mungkin ada seorang rektor Universitas Muhammadiyah yang juga Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, mengimbau mahasiswanya untuk mendukung dan mendoakan “kadernya” di ajang Indonesian Idol yang jelas-jelas mengumbar aurat itu?...

Lebih lanjut Rektor berharap agar Corina Reviera pada malam nanti dapat memberikan penampilan dan prestasi yang baik. “Kita harus memberikan dukungan,” tekadnya.

Bagi orang yang memahami kemuhammadiyahan, imbauan Rektor UMSU ini jelas sulit dipahami, bahkan sulit dipercaya. Bagaimana mungkin ada seorang rektor Universitas Muhammadiyah yang juga Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, mengimbau mahasiswanya untuk mendukung dan berdoa demi kesuksesan “kadernya” dalam ajang festival Indonesian Idol yang jelas-jelas “mengumbar aurat” itu? Bukankah Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar? Apakah rektor UMSU itu menilai bahwa buka-bukaan aurat itu adalah dakwah dan perbuatan ma’ruf (kebajikan) yang harus didukung dan didoakan?



Mengharumkan atau Memalukan Muhammadiyah?

Dalam kacamata awam, dengan memisahkan dari nilai-nilai Islam, sepak terjang Corina Reviera memang bisa dianggap sebagai prestasi. Bayangkan, ia berhasil lolos di tengah kompetisi yang ketat dengan 1.705 remaja lainnya, dalam audisi yang berlangsung di Griya Dome Convention Center Medan, tanggal 17-18 Januari 2010 lalu. Perjuangan selama dua hari itu benar-benar tak kenal menyerah, meski harus berpanas-panas dan berdesak-desakan dalam antrean dengan ribuan peserta lainnya.

Corina pun dapat menunjukkan kemampuan vokalnya di hadapan para juri, ”Kata juri suaraku bagus dan punya karakter, tapi memang perlu untuk dilatih lagi,” ujarnya bangga.

Setelah lolos dari audisi di hari pertama, Corina melaju ke tahap selanjutnya yaitu Judging oleh para juri artis, yaitu Anang Hermansyah, Erwin Gutawa dan Rossa.

Penampilan Corina untuk menjadi superstar demi mengharumkan Muhammadiyah dan nama baik Sumatera Utara itu sungguh berani. Dalam website resmi penyelenggara Indonesian Idol, Corina tampil dengan busana yang sama sekali jauh dari kepatutan sebagai seorang warga Muhammadiyah. Tanpa digambarkan secara detil, di sini, pendek kata pakaiannya minim menampakkan aurat wilayah atas. Bagian bawahnya tak perlu lagi diceritakan di sini supaya tidak kebablasan.

...Corina tampil dengan busana yang sama sekali jauh dari kepatutan sebagai seorang warga Muhammadiyah. Pakaiannya minim mengumbar aurat wilayah atas. ...

Dalam audisi tersebut, tak segan-segan, Corina menggoda salah satu juri pria yang belum lama hidup menduda, Anang Hermansyah. Setelah menghampiri Anang, Corina menarik tangan Anang, lalu mengajak ke panggung, kemudian bergoyang bersama mengayunkan goyangan tari perut. Astaghfirullah!! Itulah kelakuan mahasiswi UNSU yang didukung dan didoakan oleh Rektornya.

Corina pun lolos dalam tahap ini dan akan tampil di tahap berikutnya, tanggal 9 April 2010. Entah atas “dukungan” dan “doa” rektor UNSU atau karena keberaniannya memamerkan aurat di hadapan para juri audisi? [taz/MEDAN (voa-islam.com)]

ANEH! UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMUT DUKUNG AUDISI "PAMER AURAT"

DALAM laman situs resmi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), ditulis berita berjudul “Mahasiswa UMSU ikut Indonesian Idol.”

Dalam berita tersebut, Rektor UMSU Drs H Dalail Ahmad MA mengimbau kepada seluruh mahasiswa UMSU agar mendukung dan mendoakan Corina Reviera agar sukses dalam Indonesian Idol, sebuah kontes memilih superstar ala Indonesia. Corina adalah mahasiswi Fisipol UMSU yang telah lolos dalam audisi Indonesian Idol di Medan, yang akan tampil di sebuah stasiun televisi swasta dalam acara dalam Indonesian Idol, Jum’at 9 April 2010 jam 9 malam.

Menurut hemat kami, imbauan Dalail Ahmad itu sangat memalukan sekaligus memilukan.

Memilukan, karena dalam ajang Indonesian Idol itu Corina Reviera tak berbusana muslimah selayaknya tuntunan Muhammadiyah. Bahkan dalam audisi di Medan, tanggal 17-18 Januari 2010 lalu, Corina tampil mengumbar aurat seputar wilayah dada ke atas, sama sekali tidak mencerminkan kepribadian warga Muhammadiyah. Pantaskah tindakan seperti ini didukung dan didoakan oleh warga Muhammadiyah yang notabene adalah organisasi dakwah amar ma’ruf nahi munkar?

Memalukan, karena tindakan itu sangat tidak pantas dilakukan oleh warga persyarikatan terdidik yang menjabat sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah sekaligus Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah. Sebagai orang Muhammadiyah nomor satu di provinsi Sumut, seharusnya Dalail Ahmad tidak mendukung, apalagi mendoakan kadernya yang “pamer aurat” di Indonesian Idol tersebut.

Sebaliknya, jika memahami prinsip-prinsip Muhammadiyah, semestinya Rektor UMSU melarang aksi buka-buka aurat yang dilakukan oleh mahasiswinya, apalagi dengan membawa-bawa institusi Muhammadiyah. Karena tindakan tersebut jelas-jelas melanggar norma-norma wanita Islam. Mungkin Rektor UMSU perlu menelaah kembali buku “Adabul Mar’ah fil Islam.” Buku yang berisi tuntunan Islam bagi wanita ini diputuskan pada Muktamar Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ke-17. Dalam bab II buku tersebut, dijelaskan secara rinti tuntunan berpakaian bagi wanita menurut Islam, di antaranya:

1. Guna Pakaian ialah:
a. Untuk menutup bagian tubuh yang tidak patut terlihat
b. Untuk hiasan dan keindahan yang tidak meninggalkan kesusilaan Agama.
c. Untuk menjaga Keindahan

Dengan mengenakan pakaian yang mempunyai fungsi tiga hal tersebut tidak berarti bahwa sudah tidak ada lagi yang perlu diperhatikan, karena yang lebih penting dari itu adalah justru pakaian yang harus dikenakan dalam hati manusia itu sendiri yang namanya pakaian TAQWA

2. Menutup bagian tubuh yang tidak patut dilihat orang lain yang disebut aurat.

Karena memang tidak patut terlihat, maka siapapun tidak sepatutnya memperlihatkan auratnya dan melihat aurat orang lain.

“Tidak boleh laki-laki memandang aurat laki-laki lain dan tidak boleh wanita melihat aurat wanita lain" (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Daud dari Abi Sa'id)

3. Bagian tubuh wanita yang tidak patut terlihat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan sebahagian tangannya:

(a) “Anak Perempuan jika sudah datang bulan, maka tidak pantas terlihat tubuhnya kecuali mukanya dan kedua tangannya sampai pergelangan tangan” (HR Abu Daud).

(b) “Bagi wanita yang beriman pada Allah dan Hari Akhir tidak boleh mengeluarkan tangannya, kecuali ini dan ini, seraya Rasulullah SAW menggenggam seperdua hastanya" (HR Jarur Ath Thabrani dari Abu Qatadah)

(c) “Hai Asma sesungguhnya anak perempuan itu jika sudah menstruasi tidak pantas terlihat tubuhnya kecuali ini dan ini, Seraya Rasulullah SAW menunjuk kepada muka dan telapak tangannya" (HR Abu Dawud dari 'Aisyah)

(d) “Apabila anak perempuan itu sudah melihat darah haid, maka baginya tidak boleh tampak tubuhnya kecuali mukanya dan kecuali ini, seraya beliau menggenggam hastanya, lalu beliau meninggalkan antara genggamannya dan tapak tangannya sepanjang genggaman lain" (HR Ath Thabrani dari 'Aisyah)

(e) Tuntunan berpakaian adalah tuntunan kesopanan dan menurut kebutuhan di dalam pergaulan karena itu patut atau tidak patutnya pakaian adalah sangat tergantung keadaan yang memakainya. Bagi wanita yang terhormat berbeda keadaannya dengan wanita-wanita kebanyakan. Bagi wanita yang sudah tua berbeda keadaannya dengan gadis remaja, bagi wanita yang bekerja di ladang berbeda keadaannya dengan wanita yang sedang dalam pertemuan

Allah berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaknya mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka itu lebih mudah dikenali, karena itu mereka tidak diganggu" (QS Al Ahzab:59)

Dengan memakai ayat ini jelaslah bahwa istri Nabi, putri-putri dan wanita-wanita mukminin diperintahkan memanjangkan selendang tutup kepalanya ke bawah agar segera dikenal sebagai wanita baik-baik dan karenanya tidak akan diganggu orang.

(f) Yang penting dalam hal mengenakan pakaian bagi wanita Muslim adalah suatu kewajaran dan tidak berlebih-lebihan, tidak pula memamer-mamerkan.

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu" (QS Al Ahzab: 33)

Tabarruj (menampak-nampakkan) itulah yang oleh Islam dikehendaki jangan dilakukan. Sikap tabarruj itu adalah sikap keterlaluan dalam memperlihatkan pakaian dan perhiasan dan itu tidak berarti semata-mata tergantung sedikit atau banyak bahan. Sikap tabarruj adalah sikap yang cepat menimbulkan fitnah, tetapi itu tidak berarti bahwa Islam melarang wanita menghias diri sesuai dengan garizahnya. Berhias dan mempercantik diri adalah boleh asal dilakukan dengan wajar dan niat atau itikad yang baik.

(g) Islam memberikan petunjuk bagaimana wanita hendaknya berhati-hati dalam sikap dan pergaulannya, agar tidak tergelincir dan jatuh dalam jurang kenistaan:

a. Hendaknya wanita bertanggungjawab di rumah suaminya untuk kebahagiaan seluruh keluarga.

“Dan orang perempuan bertanggungjawab di rumah suaminya dan dia akan dimintai pertanggungan jawab” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar)

b. Karena itu untuk keperluan yang memang penting dan demi untuk kebahagiaan keluarga dan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya hendaknya wanita muslim yang terhormat tidak membiasakan pergi meninggalkan rumah tanpa ada kepentingan dan tidak membiasakan diri memperlihatkan keindahan dan kecantikannya kepada orang lain kecuali kepadanya.

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya" (QS An Nur: 31)

c. Hendaknya setiap orang baik pria maupun wanita berhati-hati dalam soal pandang memandang agar tidak menimbulkan fitnah karena itu

“Katakanlah kepada orang-orang mukmin laki-laki hendaknya mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita-wanita mukminat hendaknya mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya…” (QS An-Nur 30-31)

e. Bahkan dalam mempergunakan wangi-wangianpun hendaknya para wanita tidak sengaja memilih wangi-wangian yang mencolok dan dapat menarik perhatian orang melalui hidungnya yang salah-salam gampang menimbulkan fitnah dan dosa.

“Wanita yang apabila memakai wangi-wangian lalu melewati sekelompok laki-laki maka dia bagaikan orang zina” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan ia berkaya Hasan Shahih dari Abu Musa)

“Apabila salah seorang di antara kaum wanita datang ke masjid jangan ia memakai wangi-wangian”
(HR Muslim dari Abu Musa)

f. Sebagai wanita muslim, hendaklah benar-benar merasa berkewajiban untuk menjaga dirinya agar tetap terhormat dan mempunyai rasa perlu memelihara tubuhnya dalam arti tidak membiasakan bagian tubuhnya yang terhormat itu terbuka bagi orang lain. Untuk itu diperlukan tutup yang namanya pakaian yang sesuai dengan selera kewanitaan dan bukan pakaian yang menutup tapi makin menampakkan sesuatu yang sebaiknya tidak nampak.

“Wanita-wanita yang berpakaian telanjang yang beraksi, kepalanya seperti punuk unta yang bergoyang, mereka tidak masuk surga dan tidak mendapatkan bau (surga)" (HR Muslim dari Abu Hurairah).

...aksi buka-bukaan aurat dalam kontes Indonesian Idol itu adalah sebuah kemungkaran yang bisa mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ishyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah SWT)....

Sampai saat ini, buku berjudul “Adabul Mar’ah fil Islam” itu belum dicabut karena masih relevan. Karenanya, sebagai warga persyarikatan, tuntunan busana muslimah tersebut harus diamalkan sebaik-baiknya. Jika rambu-rambu tersebut dilanggar oleh warga Muhammadiyah, terutama kalangan cendekiawan sekaliber Rektor Universitas Muhammadiyah dan Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah, maka kemuhammadiyahan mereka patut dipertanyakan.

Kesenian Boleh, tapi Ada Batasannya!

Meski Muhammadiyah tidak mengharamkan seni, tapi Muhammadiyah telah menetapkan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar dalam ranah seni. Dengan berbagai nilai dan norma Islami yang bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, Muhammadiyah telah menetapkan buku pedoman praktis bernama “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.” Salah satu norma yang diatur dalam buku ini adalah kehidupan dalam seni dan budaya, dengan beberapa ketentuan, antara lain sbb:

“Berdasarkan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995, karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ishyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah SWT). Maka pengembangan kehidupan seni dan budaya di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau norma-norma Islam sebagaimana dituntunkan Tarjih tersebut” (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, PP Muhammadiyah, Jakarta, 2000, hlm. 43).

Dengan demikian, aksi buka-bukaan aurat dalam kontes Indonesian Idol itu adalah sebuah kemungkaran yang bisa mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ishyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah SWT). Maka seharusnya kita mencegahnya (nahi munkar), bukan malah mendukungnya (amar munkar).

Terlebih lagi berdoa kepada Allah demi kemenangan kontes yang terang-terangan memamerkan aurat, itu adalah pelecehan kepada Allah SWT. Karena tindakan ini berarti meminta kepada Allah untuk mendukung dan menyukseskan kemaksiatan.

...berdoa kepada Allah demi kemenangan kontes yang terang-terangan memamerkan aurat, itu adalah pelecehan kepada Allah SWT...

Jelang satu abad Muhammadiyah, hiasilah persyarikatan Muhammadiyah dengan iman, ilmu, amal shalih, amar makruf nahi munkar dan fastabiqul khairat. Mengejar kemenangan agar terkenal, masuk televisi dan jadi headline media massa, dalam kompetisi “pamer aurat” tidak akan mengharumkan Muhammadiyah, tapi justru Mempermalukan Muhammadiyah. Fa’tabiru ya ulil abshar.


A. Ahmad Hizbullah MAG.

NBM: 0907.7406.976893

Jumat, 23 April 2010

ISLAM MENYURUH KITA MENSUCIKAN ALLAH BUKAN MENSUCIKAN MANUSIA

Kalimat Tauhid di dalam ajaran Islam mengandung banyak konsekuensi. Seorang Muslim atau ahli Tauhid hanya mengesakan, memuji, mengagungkan, membesarkan dan mensucikan Allah semata. Sebab demikianlah tuntutan ajaran Tauhid. Di antara ekspresi seorang ahli Tauhid ialah seringnya terlontar dari bibirnya kalimat-kalimat seperti Subhaanallah (Maha Suci Allah), Alhamdulillah (segala Puji hanya bagi Allah), Laa ilaaha illa Allah (Tiada ilah selain Allah) dan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Semua kalimat itu diucapkannya dengan penuh pemahaman, penghayatan dan keyakinan.

Seorang Muslim yang faham makna kalimat Subhaanallah tidak akan terjebak ke dalam anggapan adanya fihak lain selain Allah yang pantas disucikan. Ia tahu hanya Allah sajalah di dalam hidup ini yang tidak mengandung cacat dan kekurangan. Allah adalah Dzat Yang Maha Sempurna. Oleh karena itu sepanjang perjalanan sejarah dunia Allah mengutus para Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk menjernihkan aqidah ummat manusia. Sebab manusia memiliki kecenderungan untuk merasa butuh mensucikan sesuatu di dalam hidupnya. Namun sayang, kebanyakan manusia bodoh akan Ma’rifatullah (Pengenalan akan Allah) sehingga mereka akhirnya menjadikan banyak fihak selain Allah sebagai fihak yang disucikan sedemikian rupa sebagaimana semestinya mereka mensucikan Allah Subhaanahu wa Ta’aala (Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi).

Di antara mereka ada yang mensucikan sesama manusia yang dianggap sangat mulia. Sedemikian rupa pensucian itu sehingga mereka memposisikan manusia yang dimuliakan itu berlebihan alias melampaui batas. Seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi terhadap Uzair dan kaum Nasrani terhadap Nabiyullah Isa putra Maryam ’alahis-salam.

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ

ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا

مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ

Orang-orang Yahudi berkata: ”Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?

Kaum Nasrani telah memposisikan Nabiyullah Isa sebagai anak tuhan bahkan tuhan itu sendiri. Oleh karenanya kita ummat Islam sangat bersyukur adanya sebuah surah di dalam Al-Qur’an yang memberikan pengetahuan fundamental mengenai aqidah tauhid, yaitu surah Al-Ikhlas.

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌاللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

”Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia".(QS Al-Ikhlas ayat 1-4)

Dengan tegas dan jelas surah di atas memberikan dasar-dasar aqidah pengesaan Allah di dalam ajaran Islam. Sejak SD kebanyak muslim sudah hafal surah di atas di luar kepala. Sehingga bagi seorang muslim adalah suatu hal yang tidak masuk di akal bila ada sesama manusia yang diposisikan sebagai anak tuhan apalagi sebagai tuhan itu sendiri. Karena jelas diegaskan bahwa Allah itu ” tiada beranak dan tiada pula diperanakkan” dan bahwa Allah itu ”tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”.

Oleh karenanya di dalam Islam kita diajarkan agar jangan mensucikan, mengagungkan atau mengagumi sesama manusia berlebihan. Malah dalam rangka prefentif, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sudah menutup celah muncul dan berkembangnya penyakit mensucikan sesama manusia dalam bentuk teguran keras beliau ketika menyaksikan seorang muslim memuji sesama muslim berlebihan. Perhatikanlah hadits di bawah ini:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

مَدَحَ رَجُلٌ رَجُلًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

قَالَ فَقَالَ وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ قَطَعْتَ عُنُقَ

صَاحِبِكَ مِرَارًا إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ مَادِحًا صَاحِبَهُ لَا مَحَالَةَ

فَلْيَقُلْ أَحْسِبُ فُلَانًا وَاللَّهُ حَسِيبُهُ وَلَا أُزَكِّي عَلَى اللَّهِ أَحَدًا

أَحْسِبُهُ إِنْ كَانَ يَعْلَمُ ذَاكَ كَذَا وَكَذَا

Hadis riwayat Abu Bakrah ra., ia berkata: Seorang lelaki memuji orang lain di hadapan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam maka beliau bersabda: “Celaka kamu! Kamu telah memenggal leher temanmu, kamu telah memenggal leher temanmu!” Beliau mengucapkannya berulang-ulang. ”Apabila seorang di antara kamu terpaksa harus memuji temannya, hendaklah ia berkata: Aku mengetahui kebaikan si Fulan namun Allah lebih mengetahui keadaannya, dan aku tidak memberikan kesaksian kepada siapa pun yang aku ketahui di hadapan Allah karena Allah lebih mengetahui keadaannya yang sebenarnya”. (HR Muslim 5319)

Bayangkan, saudaraku. Betapa keras teguran Nabi shollallahu ’alaih wa sallam kepada seseorang yang telah memuji orang lainnya. Sedemikian kerasnya teguran Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sehingga tindakan memuji sesama manusia itu disetarakan dengan memenggal leher teman artinya membunuhnya…! Dan hal ini dikatakan berulang-kali oleh Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Mengapa teguran Nabi shollallahu ’alaih wa sallam begitu kerasnya? Karena Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sangat khawatir bila ummat beliau terjatuh kepada penyimpangan ummat terdahulu, khususnya kaum Yahudi dan Nasrani. Sebab penyimpangan seperti ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk mempersekutukan Allah. Dan itu berarti termasuk dosa besar. Bahkan dosa yang tidak bisa diampuni Allah.

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ

لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisa ayat 48)

Sehingga dalam kesempatan lainnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bahkan pernah menegur keras para sahabat ketika beliau dapati mereka melakukan bentuk penghormatan berlebihan kepada diri Rasulullah.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ

سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا

أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Ibnu Abbas mendengar Umar berkata dari atas mimbar: ”Aku mendengar Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian mengkultuskanku sebagaimana kaum Nasrani mengkultuskan Isa putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba. Maka ucapkanlah: hamba Allah dan RasulNya.” (HR Bukhary 3189)

Subhanallah... Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sadar dan faham betul bahwa kemusyrikan seringkali bermula dari bentuk mensucikan orang-orang mulia seperti para Nabi sebagaimana yang dialami oleh kaum Nasrani yang bermula dari mensucikan Nabi Isa berlebihan akhirnya menjadi melampaui batas sehingga dewasa ini kaum Nasrani meyakini bahwa Nabi Isa adalah anak tuhan bahkan tuhan itu sendiri.

Saudaraku, berarti Islam sangat tidak membenarkan hadirnya berbagai bentuk penghormatan berlebihan kepada sesama manusia walau terhadap seorang Nabiyullah sekalipun. Dan jika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam melarang ummatnya untuk mengkultuskan diri beliau, bagaimana lagi gerangan kerasnya teguran beliau jika saja beliau bisa menyaksikan perlakuan sebagian ummat Islam di zaman kita yang mengkultuskan kalangan yang mengaku diri mereka sebagai ”keturunan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam”? Atau pengkultusan terhadap seorang Kyai atau Ajengan di sebuah Pesantren? Atau pengkultusan para kader kepada Qiyadah/pimpinan sebuah Jama’ah minal Muslimin dalam bentuk mentaati segala keputusan-keputusannya walau sudah jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah?

اللهم إني أعوذ بك أن أشرك بك وأنا أعلم ، وأستغفرك مما لا أعلم

Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari mempersekutukan Engkau sedang aku mengetahuinya dan aku mohon ampun kepadaMu dari apa-apa yang tidak kuketahui. (eramuslim, Sabtu, 26/12/2009)